Judul: An Abundance of Katherines Penulis: John Green Penerbit: Dutton and Speak Publikasi: 21 September 2006 Tebal: 256 halaman
"You can love someone so much, but you can never love people as much as you can miss them."
-- Chapter 10
An Abundance of Katherines sebenernya nggak masuk di daftar buku wajib baca gue tahun ini. Alasan gue memilih untuk mendahulukan buku ini sebenernya cukup simpel, yaitu 1. Gue kudu catch-up dengan Goodreads Reading Challenge, dan 2. Beberapa reviewer di Goodreads mengatakan kalau Paper Towns, Looking for Alaska, dan An Abundance of Katherines memiliki pola yang mirip-mirip, jadi gue penasaran. Dan berhubung kemarin habis baca Paper Towns, I figured why the heck not ngebablasin baca semua tulisannya John Green.
Tokoh utama kita bernama Colin. Alih-alih first person POV yang biasa kita dapatkan di novel John Green yang lain, kali ini yang digunakan adalah third person POV -- which is kinda refreshing, IMO. Yang bikin Colin berbeda dari karakter-karakter cowok John Green lainnya adalah, instead of your usual nerds with all his perks, Colin adalah seorang child prodigy. Artinya seorang anak dengan IQ supertinggi yang punya kemampuan menyerap pelajaran lebih baik daripada Spongebob Squarepants di Bikini Bottom.
Waktu berusia 2 tahun (atau 3 tahun?), Colin bisa baca headline koran yang sedang dibaca papanya. Padahal dia belum masuk pre-school, apalagi TK. Dan orang tuanya sangat excited. Berhubung dua-duanya guru, mereka memutuskan untuk membawa Colin ke psikologi, yang juga adalah sahabat mereka. Tujuannya ya buat tahu si Colin ini beneran child prodigy atau enggak, dan untuk tahu metode pendidikan yang terbaik itu kayak gimana. Hasilnya? Yayy, Colin adalah child prodigy!
Walaupun brilian, berbagai hasil penelitian mengatakan bahwa para child prodigy belum tentu akan bertumbuh menjadi penemu ataupun orang-orang spesial lainnya. Albert Einstein, Isaac Newton, dan para penemu lainnya justru bukanlah child prodigy dulunya. Dan inilah yang bikin Colin ketar-ketir menjelang kelulusan SMA-nya. Why? Because he wants to matter. Seumur hidupnya, ia tumbuh dengan pemahaman bahwa ia brilian, bahwa spesial, bahwa ia jenius. Akan tetapi, the world slowly catches up to him.
Selain itu, ada masalah dengan Katherine-Katherine di hidupnya. Ini yang unik. Selama tujuh belas tahun hidupnya, Colin udah nge-date sama 19 Katherine. As in, cewek bernama Katherine. Dan selama 19 kali itu pula dia selalu di-dump. Di saat cowok-cowok lain punya tipe cewek yang berambut brunette lah, atau suka olahraga, atau bertubuh atletis, atau pintar, tipe ceweknya Colin adalah mereka yang bernama Katherine.
I know, just go with it.
As it turns out, begitu cerita kita mulai, Colin baru saja di-dump oleh Katherine XIX. Dibandingkan Katherine yang lain, Colin punya feeling yang amat dalam sama yang satu ini. Dan pemutusan hubungan ini terjadi saat mereka baru aja lulus-lulusan SMA. Jadi, bisa ditebak, walaupun ia memiliki masa depan cerah yang menantinya, Colin menghabiskan minggu pertama kelulusannya dengan merana di dalam kamar dan menanti kembalinya Katherine XIX.
Enter Hassan, BFF-nya Colin. See, Hassan sebenernya setahun lebih tua dari Colin, tapi karena dia menolak untuk kuliah, jadi dia masih berkeliaran di sekitar neighbourhood. Hassan adalah seorang keturunan Arab yang beragama Islam yang bertubuh besar dan memiliki man-boobs. Tahu man-boobs, kan? Punya temen cowok yang badannya supergede, nggak? Oke oke, simpelnya gini. Jaman SMA, gue punya temen cowok yang badannya gede. Sebenernya ada yang lebih gede daripada dia, tapi yang bikin temen gue ini unik adalah fakta bahwa dia memiliki man-boobs. Alias, bagian dadanya berkembang dengan sangat pesat sampai bisa menyamai (dan, dalam beberapa kasus, termasuk gue, mengalahkan) dadanya cewek. And, my friends, itulah yang kita sebut dengan man-boobs.
Kembali ke Hassan dan Colin. Nggak suka melihat temennya yang sangat berpotensial dengan kebrilianannya itu teronggok di kamar menangisi cewek yang udah nge-dump dia, Hassan mengambil langkah ekstrim. Dia menyeret Colin untuk pergi roadtrip bersamanya. Karena roadtrip bisa memberi Colin perspektif yang jauh lebih baik daripada doi ngerem di kamar.
And so our story begins. :)
EGGLYSIS
Dibandingkan dua novel John Green lainnya yang udah gue baca (maksutnyah Paper Towns dan Looking for Alaska), nggak ada karakter cewek yang bikin gue emosi dan pengen garukin tembok pake linggis saking menyebalkannya mereka. Yanno, those manic pixie chicks thingy... Mungkin karena kali ini John memutuskan untuk menggunakan third person POV. Mungkin juga karena kita nggak lama-lama bertemu dengan Katherine XIX. Karakter cewek yang ada di buku ini, Lindsey Lee Wells, jauh lebih menyenangkan dan masuk akal. And for that, I am grateful.
Nggak ada pet peeve gue bukan berarti novel ini sempurna. Plotnya cenderung datar dan gue nggak menemukan diri gue terhisap ke dalam alur ceritanya. Okey, interaksi antarkarakternya memang snarky, witty, dan humorous a la John Green banget. Konklusinya juga jenis wisdom yang kita expect dari novel-novelnya. Ooh, dan jangan lupa formula matematika yang digunakan -- sumpah, itu niat banget. But, that's about it. Begitu kelar baca buku ini, gue nggak merasa seakan telah naik roller coaster of emotion ataupun ngerasa attached sama karakternya. Nggak ada perasaan gagal move on yang biasa menyertai gue habis baca novel oke.
Overall, An Abundance of Katherines...
Click here to read the review in English.
Comments