Judul: Before They are Hanged (The First Law, #2) Penulis: Joe Abercrombie Penerbit: Gollancz Publikasi: 15 Maret 2007 Tebal: 441 halaman
People love to see death. It reminds them that however mean, however low, however horrible their lives become… at least they have one.
Sama seperti The Blade Itself, Before They are Hanged dibuka dengan kutipan ini:
We should forgive our enemies, but not before they are hanged.
-Heinrich Heine
Kalau The Blade Itself lebih ke pengenalan karakter (like a huge prologue, there is), di Before They are Hanged kita mulai masuk ke plot cerita yang sesungguhnya. Bayaz and the genk memulai perjalanan ke Old Empire untuk mencari senjata yang dibutuhkan untuk mengalahkan Khalul dan tentara Eater-nya; West bersama para tentara Union memulai peperangan melawan Bethod di North; petualangan Glokta di Dagoska melawan pengkhianatan dari dalam di tengah ancaman serangan tentara Gurkhul; dan gejolak politik di Adua (atau Agriont?) mulai memanas.
Kita bahas satu-satu.
Perjalanan Bayaz and the genk (soalnya kalo disebutin satu-satu kebanyakan :P ) menuju Old Empire lebih bisa dibilang perjalanan menemukan jati diri ketimbang perjalanan misi. Agak sulit buat ngebahasnya karena happenings yang terjadi lebih mengarah ke personal conflict and findings. Misalnya, Jezal. Di akhir The Blade Itself, walaupun udah mulai menunjukkan gejala perubahan, overall dia masih a huge, spoiled brat. Sementara di buku ini, Jezal mulai dihadapkan pada kenyataan kehidupan yang sesungguhnya. Dia yang tadinya sangat peduli dan menjaga penampilan kini tentunya nggak bisa melakukan hal yang sama karena, hello, in the middle of nowhere mana sempet lagi sih menjaga diri agar tetap rapi dan harum? Belum lagi, mau tidak mau ia harus berinteraksi dengan rekan-rekan seperjalanannya. Mereka yang tadinya ia anggap rendah, ternyata menyimpan kebijaksanaan yang sanggup membuatnya termangu. Logen yang terlihat bodoh, Ferro yang terlihat barbar... sebuah pelajaran berharga dalam menghargai orang lain.
Di buku ini juga kecurigaan gue pada Bayaz tumbuh. Ia yang tadinya terlihat begitu fun, wise, dan super di buku pertama, kini mulai menunjukkan flaw-nya. Bayaz nggak seperti old wizard yang biasa kita temui di buku-buku fantasi lain, misalnya Gandalf dan Dumbledore. Ambisi Bayaz rasanya tidak tergerus kebijaksanaan yang harusnya bertambah bersama dengan usia.
Perjalanan menuju Old Empire ini adalah dengan misi mencari senjata yang dapat digunakan untuk mengalahkan Khalul, Magus keduanya Juven, yang sejak dulu nggak pernah akur sama Bayaz. Di sini, kita mulai diperkenalkan pada sejarah penciptaan dunianya Joe Abercrombie, karena senjata yang dicari Bayaz adalah Seed -- sesuatu yang diperoleh Glustrod, anak Euz, ribuan tahun lalu untuk memenuhi ambisinya menguasai dunia dan harus dibayar dengan harga mahal. Nyawa ribuan orang di Old Empire, bahkan kerajaan itu sendiri, adalah saksinya.
Sementara itu, di North, West dipusingkan oleh rombongan Prince Ladisla yang sejujurnya nggak layak dikirim ke medan perang. Ini menjadi bukti ketika mereka diserang oleh tentara Bethod dan, alih-alih menuruti saran West untuk mundur dan meminta bantuan dari Marshal Burr, Ladisla malah menyerukan tentaranya (yang setali tiga uang sama dia) untuk menyerang. Pengalaman pertama West merasa tak berdaya, dan ia berjanji tak akan membiarkan hal yang sama terjadi lagi.
Plot yang paling menarik buat gue jelas terjadi di Dagoska, di mana Glokta berjuang melawan jaring pengkhianatan di tengah ancaman serangan tentara Gurkhul. Temannya hanyalah para Practical-nya, dan dukungannya berasal beribu-ribu mil jauhnya di Adua. Dapatkah Glokta menyelamatkan Dagoska dari serangan tentara Gurkhul dan membongkar pengkhianatan politik di dalamnya, serta pada saat yang bersamaan tetap bertahan hidup?
Sementara itu, apa yang terjadi ketika Bayaz and the genk sampai di tujuan mereka?
EGGLYSIS
Mari kita membuka bagian opini ini dengan pujian. Dunia yang dibangun Joe Abercrombie telah dipertimbangkan dengan sangat matang dan amat baik. Dia mempertimbangkan kondisi geografisnya, sejarahnya, mitologinya, juga sistem sihirnya. Political intrigue dan peperangannya juga baik. Udah gue bilang, kan, di review buku pertama, kalau dalam beberapa hal penulisan Joe sering membuat gue teringat pada ASoIaF? Nggak mirip. Hanya mengingatkan.
Selanjutnya, karakter. Ini juga bukan tipe karakter 2D yang either nggak konsisten atau nggak masuk akal. Justru mereka sangat manusiawi, dengan kelemahan-kelemahan yang terasa sangat nyata. Memang, secara general mereka nggak likeable. Di buku pertama, gue butuh beberapa saat untuk beradaptasi. Seiring berjalannya waktu, I'm getting the hang of it, walau masih ada beberapa POV yang bikin gue cringe.
That being said, gue nggak cocok sama trilogi ini. Sampai akhir buku kedua, nggak ada satu pun plot atau karakter yang bikin gue penasaran dan pengin buru-buru membenamkan hidung ke buku ketiga. None whatsoever. Guepun nggak paham kenapa. Jelas bukan karena gue nggak suka cerita yang gelap karena, for heaven's sake, ASoIaF dan The Silmarillion sukses bikin gue antisosial selama jam-jam dan hari-hari gue membacanya. Selama baca The Blade Itself dan Before They are Hanged, gue harus memotivasi diri sendiri untuk terus membaca -- walau ada beberapa plot yang berhasil bikin hidung gue nempel. Say, plotnya Glokta dan para Northmen.
Gue suka karakter-karakternya. Heck, bahkan romance-nya yang nggak biasa. Tapi ada sesuatu yang terasa kurang. Ada seorang reviewer di Goodreads yang bilang kalau ini disebabkan plot-nya yang sangat character-driven. Joe terlalu asyik menceritakan pertumbuhan karakternya sampai alurnya terasa flat. Kalaupun naik, ya, paling tanjakan dikit.
Don't get me wrong. Gue suka cerita yang memperhatikan perkembangan karakternya dengan baik, tapi cerita itu harus punya, ya, CERITA. Di sini, plotnya terasa terpencar. By the end of the book, gue nggak berasa sensasi yang biasa gue dapet di akhir buku kedua dalam sebuah trilogi. Bahkan plot twist di akhir cerita nggak bikin gue mindfucked. Sebut saja The Well of Ascension dari trilogi Mistborn. Heck, bahkan The Two Towers yang katanya cuma kayak penghubung buku pertama dan ketiganya LotR aja bisa bikin tangan gue gatel buat buru-buru ngelahap buku ketiga, kok.
Overall, Before They are Hanged...
Click here to read the review in English.
Comments