top of page
Writer's pictureDelvirah Sabatini

City of Ashes (The Mortal Instruments, #2)


Judul: City of Ashes (The Mortal Instruments, #2) Penulis: Cassandra Clare Penerbit: Margaret K. McElderly Publikasi: 25 Maret 2008 Tebal: 464 halaman


If you really love something, you never try to keep it the way it is forever. You have to let it be free to change.

Selamat datang di instalmen kedua The Mortal Instruments, a.k.a. buku yang bikin gue muak sama Clary. Untuk pertama kalinya, ada heroine lain yang bisa bikin gue marah lebih daripada Bella Swan. Damn, seharusnya gue mendengarkan red flag yang nongol di otak pas baca buku pertama. *sighs*


City of Ashes mulai tepat di saat terakhir kita tinggal. Jocelyn masih belum sadar dari komanya, Valentine masih berusaha mengumpulkan Mortal Instruments dan mengumpulkan pasukan iblisnya, dan tokoh utama kesayangan kita, Clare Clary Fray, masih terjebak dalam dilema cinta inses atau cinta BFF-nya. Kalau mau jujur, hampir dua per tiga buku ini terfokus pada dilema Clary: "Gue sayang sama dia! Tapi dia abang gue! Tapi Simon sayang sama gue! Tapi dia sahabat gue! Tapi gue nggak tahu apa gue bisa sayang sama Simon kayak gue sayang sama Jace! Tapi dia abang gue!" -- dan begitu seterusnya, repetitif, trust me it's annoying.



Di luar dari POV Clary yang nyebelin, plot ceritanya kurang lebih begini: Jace diusir dari rumah keluarga Lightwood yang takut dia dipakai sebagai mata-mata Valentine selama ini, which is yang jadi kecurigaan Clave; Jace memutuskan untuk melampiaskan emosinya kemana-mana, lots of angsty moments, dan bertindak bagaikan remaja cowok bodoh yang pengen gue geplakin kepalanya pake korsi dan meja; Jace dinasehati Luke; Jace kembali ke Institute untuk ngomong hati ke hati sama Mrs Lightwood dan akhirnya terungkap alasan dia diusir adalah karena Inquisitor mau datang untuk menginterogasi Jace dan pasangan Lightwood hanya ingin melindunginya karena Inquisitor ini punya dendam pribadi sama Valentine dan bisa dipastikan sensi bingit sama Jace sebagai putra Valentine; Jace dipenjara di Silent City karena nggak bisa jaga mulut di depan si Inquisitor *snorts*; dan di tengah malam buta, Jace dikunjungi oleh Valentine yang sedang berusaha mencuri Mortal Sword.


Trus kita masuk ke semacam acara showdown antara Shadowhunter vs iblis-iblisnya Valentine, yang menghabiskan sisa sepertiga dari buku ini. Hanya sepertiga bagian buku inilah yang cukup gue nikmati.


EGGLYSIS

Ini reaksi gue begitu kelar baca City of Ashes:



Gue bener-bener nggak tahan berada di dalam kepala Clary. Mari kita mulai dari plot cinta segitiga Jace/Clary/Simon. Gue nggak membahas hubungan inses Jace dan Clary, tapi yang jadi fokus

adalah Clary dan Simon. Nih cewek satu jahat banget yawlaa tapi plays it off as innocent. Dia tahu Simon cinta mati sama dia. Dan dia juga tahu kalau dia nggak akan pernah bisa membalas perasaan Simonkarena masih cinta mati bingitttt sama Jace. Tapi dia memutuskan untuk memulai hubungan dengan Simon. Dan bisa ditebak, itu nggak berakhir baik. Ada garis batas yang sangat obvious antara menjadikan cowok lain sebagai pelarian DAN betul-betul berusaha memulai hubungan baru. Dan Jace, OHMYGOD, Jace juga bikin muak. Tindakannya cari masalah di antara para Downworlder dengan menghina mereka itu definitely NOT OKAY.


Masih ingat pembahasan kita tentang jiplakan inspirasi Harry Potter di dalam seri ini? Di buku ini gue menemukannya dalam sosok Inquisitor Herondale. Kalau kalian ingat Dolores Umbridge dan bagaimana rasanya ketika membaca aksinya sebagai guru kemudian kepala sekolah Hogwarts kemudian salah satu anak buah Voldy, tentu ketika membaca bagian Inquisitor Herodale seakan membuat kalian bernostalgia dengan dunia Harry Potter. Nggak rasionalnya sama. Rasa sebel yang seakan menjalar di bawah kulit kalian pas baca tentang tokoh ini juga sama. Clare bahkan coba memberi dimensi pada karakter ini yang, sorry to say, nggak mempan sama sekali. Usaha yang sama lemah dengan yang dilakukannya pada Jace; bukannya bikin simpati malah makin sebel.


Overall, City of Ashes...



Click here to read the review in English.



0 views0 comments

Comments


bottom of page