top of page
Writer's pictureDelvirah Sabatini

City of Heavenly Fire (The Mortal Instruments, #6)


Judul: City of Heavenly Fire (The Mortal Instruments, #6) Penulis: Cassandra Clare Penerbit: Margaret K. McElderry Publikasi: 27 Mei 2014 Tebal: 725 halaman


I dream sometimes, of a boy with green eyes, a boy who was never poisoned with demon blood, a boy who could laugh and love and be human, and that is the boy I wept over, but that boy never existed.

-- Chapter 23: Judas Kiss


Dan akhirnya kita tiba di buku terakhir seri The Mortal Instruments. AKHIRNYA INI REVIEW TERAKHIR GUE DI SERI INI.


Mujizat itu nyata, guisee!


Sedikit recap, berhubung jeda antara buku kelima dan keenam cukup jauh, mengenai perasaan gue *tsaelah* terhadap seri ini. Buku 1-3, walaupun nggak amazing ataupun awesomesauce, cukup merebut hati gue. Buku ketiga merupakan favorit gue, terutama karena setting Idris/Alicante yang sangat indah. Dan dari situ, semuanya downhill. Buku keempat nggak jelas. Buku kelima bikin gue murka sampai rasa hati ingin mencabik-cabik halamannya.


Bagaimana dengan buku keenam? Hmm. Gue membuka buku ini setelah menyingkirkan segala amarah dan prasangka. Hati terbuka siap memaafkan Clare atas kesalahannya di buku keempat dan kelima. Apa daya, baru juga mata gue nemplok di paragraf pertama, gue udah dibikin facepalm tingkat dewa.


THE LOS ANGELES INSTITUTE, DECEMBER 2007. On the day Emma Carstairs's parents were killed, the weather was perfect. On the other hand the weather was usually perfect in Los Angeles.

-- Prologue: Fall Like Rain


Buku ini dibuka dengan serangan Sebastian dan prajurit Endarkened-nya di Institute yang di Los Angeles. Endarkened adalah para Shadowhunter yang berhasil diubah Sebastian dengan cara nyekokin cairan-aduh-apa-itu-lupa-namanya-sumpah-kalo-nggak-salah-darahnya-Lilith-deh ke mulut mereka. Intinya, Shadowhunter yang udah jadi Endarkened itu ibaratkan udah jadi minion-nya Sebastian. Di Institute LA itu ada seorang cewek bernama Emma Carstairs yang sedang berlatih dengan sahabatnya, Julian Blackthorn, dan keluarga Blackthorn lainnya. Mereka berhasil melarikan diri melalui Portal ke Idris.


Rupanya, terjadi serangan-serangan yang sama di berbagai Institute di belahan dunia lainnya. Ada sekitar enam atau tujuh, kalo nggak salah, dan yang masih ada yang selamat cuma di LA ini. Nggak mau kalah start, Clave pun akhirnya bersiap menghadapi perang melawan Sebastian dan prajuritnya. Namun sebelumnya, mereka memanggil seluruh Shadowhunter untuk berkumpul di Idris untuk menyusun rencana dan mengurangi kemungkinan terbunuhnya Shadowhunter lainnya.


Akan tetapi, ada satu hal yang nggak mereka sangka, yaitu pengkhianatan salah satu ras Downworlder. Pengkhianatan ini berujung pada diculiknya Jocelyn, Luke, Magnus, Raphael, dan para representasi Downworlder lainnya ke dimensi tempat Sebastian berada. Dimensi yang disebut demon realm. Tidak mau tinggal diam, tokoh-tokoh favorit kita pun memutuskan untuk segera bertindak. Jace, Clary, Simon, Alec, dan Izzy pun bergegas menuju demon realm tempat Sebastian berada untuk menyelamatkan orang-orang yang mereka kasihi dan, terutama, berusaha untuk mengalahkan Sebastian.


And the showdown begins, guys.


EGGLYSIS

Gue punya banyak issue saat mulai membaca dan bahkan sampai saat kelar membaca buku ini. Seperti format di review Goodreads gue, izinkan gue untuk melakukan hal yang sama di sini.


  • Yang jadi concern pertama gue adalah Clave itu sendiri. Meen, ini udah buku keenam kok ya mereka nggak pinter-pinter loh. Kenapa semua rencana yang mereka bikin dan jalankan nggak pernah ada yang oke. Semua ini dikontraskan dengan ide para remaja (dan by remaja, gue maksud Jace, Clary, dldl) yang, honestly, lebih oke. Gue nggak ngerti apa maksud Clare ngebikin para orang dewasa yang harusnya lebih bijaksana ini malah jadi lebih begok daripada remaja-remaja hormonal. Mau nge-antagonize supaya kita berpihak sama para karakter utama sih boleh, tapi mbok ya masuk akal dikit dong caranya. Gini mah cheap trick doang. Which leads me to my second argument...

  • Di pertengahan novel, ada satu scene yang menunjukkan Sebastian berhasil menyelundup masuk ke Idris di saat semua perlindungan sudah dipasang dobel kuatnya. (Seriously, ini nggak spoiler sama sekali karena technically, kalo lo udah ngikutin buku ini dari awal, gaya penulisan Clare bikin hal yang harusnya surprising ini jadi kelewat obvious) Pertanyaan gue ketika baca scene ini -- dengan kening berkerut, of course -- adalah, gimana caranya Sebastian bisa masuk ke Idris kalo Clave udah berjuang mati-matian melindungi daerah mereka ini? Clare nggak menjelaskan sedikitpun, loh. Kesannya Sebastian tuh jago banget dan bisa suka-suka seenak udelnya aja mau ke mana-mana. Ini either Clave-nya kelewat tolol sampai masang perlindungan aja nggak becus, padahal katanya udah berlipat-lipat kekuatannya, atau Clare yang emang nulis seenak udel. Kalo yang pertama, gue jadi bertanya-tanya ngapain para Shadowhunter berkoar-koar melindungi umat manusia? Ngelindungi diri sendiri aja nggak becus, kok. Kalo yang kedua, oh well...

  • Di buku ini, ada beberapa karakter yang kita kenal yang mati. Akhirnya, setelah lima buku berlalu tanpa ada satupun karakter yang kita kenal menjadi korban, di buku ini hal itu terjadi. Tapi yang bikin kening gue mengernyit adalah kematian mereka tuh pointless. Gini, ya. Kematian karakter yang cukup penting, baik primary sampai tertiary, harus memiliki tujuan tersendiri. Either sebagai penggerak plot atau supaya karakter lain bisa berkembang. Itu yang gue pelajari setelah nangis bercucuran air mata dan hidup dalam denial waktu baca A Song of Ice and Fire. Kematian karakter-karakter di buku ini? Pointless. Nggak menggerakkan plot, nggak bikin karakter lain berkembang. Malah gue ragu ada character growth at all di novel ini.

  • Ingat Valentine? Main villain/antagonist di buku 1-3. Ah well, dia nggak pernah bikin gue takut. Interestingly. Anak setannya, si Sebastian yang punya campuran darah iblis, sempet bikin gue cukup keder di buku ketiga. He seemed so very dangerous, what with the demon blood and all. Memasuki buku keempat, however... pfftt. Nggak menakutkan sama sekali. Malahan dia tampak seperti imitasi murahan dan menyedihkan dari karakter lain yang, tentu saja, nggak diciptakan Clare.


  • Satu lagi. Masih ingat Maureen? Karakter cewek praremaja yang punya huge crush on Simon, trus dia diubah jadi vampire. Di akhir buku kelima, Maureen rupanya berhasil membunuh Camille dan merebut clan New York darinya. Pertanyaan gue yang nggak pernah berubah selama ini: gimana caranya vampire bocah yang tengil dan petakilan kayak Maureen bisa ngebunuh Camille yang katanya udah hidup ratusan tahun dan super licik? Awalnya gue sempet mikir Maureen nih powerful atau berbahaya. Tapi scene-nya di buku ini nggak ada yang nyeremin sedikitpun. Malah lebih nyerempet ke comic relief... itupun nggak lucu. Yang ada gue nangis menyesali momen gue mulai membaca buku ini. :'(


Akan tetapi, menjelang akhir cerita, ada dua scene yang harus gue akui berhasil di-handle Clare dengan baik. Tanpa bermaksud nge-spoil, izinkan gue untuk ngasih petunjuk bahwa dua scene itu ada hubungannya dengan Sebastian dan Simon. I will say no more.


Sayangnya, Clare lalu memutuskan untuk menulis epilog. Ugh. Padahal seandainya epilog itu nggak ada, gue akan lebih respect sama buku ini. Panggil gue masochist, tapi menurut gue di genre fantasy yang berhubungan dengan perang umat manusia gini, ending yang fluffy happy itu nggak pantes. Bumbui dengan kegetiran dan tragedi akan lebih cocok.


Overall, City of Heavenly Fire...



Click here to read the review in English.



1 view0 comments

Comments


bottom of page