top of page
Writer's pictureDelvirah Sabatini

Clockwork Princess (The Infernal Devices, #3)


Judul: Clockwork Princess (The Infernal Devices, #3) Penulis: Cassandra Clare Penerbit: Margaret K. McElderry Publikasi: 19 Maret 2013 Tebal: 568 halaman


Entreat me not to leave thee, or to return from following after thee -- for whither thou goest, I will go, and where thou lodgest, I will lodge. Thy people shall be my people, and thy God my God. Where thou diest, will I die, and there will I be buried. The Angel do so to me, and more also, if aught but death part thee and me.

--Chapter 15: Stars, Hide Your Fires


Gue sependapat dengan Clare di salah satu komentarnya mengenai buku ini. Tidak ada Team Will atau Team Jem. For goodness' sake, this is not Twilight. Pisahkan Will dengan Tessa? Nggak masalah. Pisahkan Jem dengan Tessa? Shoot. Tapi, pisahkan Will dengan Jem?


Clockwork Princess dibuka dengan Gabriel yang berlari-lari memasuki Institute dengan wajah pucat. Well, nggak literally dibuka dengan itu sih, karena di prolognya Clare mengajak kita mundur ke lima tahun yang lalu saat pertemuan pertama Will dan Jem. But you get my point... Nah, si Gabriel ini waktu ditanyain kenapa nongol, jawabannya cuma satu, "Dad is a worm." -- which is kind of given yah, terlebih mengingat betapa unlikeable-nya karakter Benedict Lightwood dibikin Clare.


Butuh beberapa paragraf bagi kita untuk ngeh kalo yang dimaksud Gabriel tuh si papah bener-bener, literally, adalah cacing. As in, one monstrously huge, meat-eating worm. Yanno, efek demon pox lah ya. A little fact yang selalu bikin gue torn. Haruskah gue merasa ngeri atau boleh ngakak?


Intinya, dari rumah Lightwood itu, orang-orang di Institute mendapatkan bukti bahwa Mortmain sedang bekerja ekstra cepat untuk menyelesaikan tentara automatonnya -- atau yang diberi nama Infernal Devices. Sadar akan bahaya yang mengancam kaum Nephilim/Shadowhunter, Charlotte bergerak cepat untuk memperingatkan Enclave. Enclave ini sesungguhnya sedikit lebih pintar daripada Conclave di TMI, IMO. Sedikit, karena Clare kayaknya harus banget menyelipkan karakter orang dewasa dalam posisi pemerintahan yang tinggi tapi gobloknya ampun-ampunan. Dalam hal ini adalah si Consul Wayland.


Sepanjang buku ini, Clare sukses menghancurkan karakter si Consul Wayland. Any positive opinion yang gue miliki tentang dia dari buku pertama hancur lebur. Segala sesuatu yang diusulkan Charlotte selalu ditentang olehnya. Bahkan ketika para anggota council menyuarakan niat mereka untuk mengangkat Charlotte sebagai consul menggantikannya, si Wayland ini bikin berbagai macam manuver untuk menggagalkannya.


Jangan lupakan konflik cinta segitiganya, area yang menurut gue adalah keahliannya Clare. Ini agak spoilery rasanya, tapi sebenernya udah obvious banget dari buku pertama. Katakanlah Jem sekarat di buku ini. Seakan mau menggenapi peribahasa, 'Habis jatuh, tertimpa tangga pula', Tessa berhasil diculik oleh kerumunan automatonnya Mortmain yang dipimpin oleh Mrs Black. Dan Will kini harus memilih. Memegang teguh janji Parabatainya dengan Jem, yang menuntutnya untuk tidak meninggalkan sisi Jem sampai maut memisahkan mereka, atau mengikuti hatinya yang turut dibawa pergi oleh Tessa?


Hazek banget bahasa gue dah. *kibas rambut*


EGGLYSIS

First of all, Will and Jem.



Gue berdiri teguh pada pendirian gue di awal review ini. SUKA-SUKA DEH MAU PISAHIN WILL DENGAN TESSA ATAU JEM DENGAN TESSA, TAPI JANGAN NEVER EVER EVAH PISAHKAN WILL DENGAN JEM.

THEY'RE MY BABIES TOO SWEET AND ADORABLE AND PURE FOR THIS WORLD I JUST WANT TO PROTECT THEM FROM THIS CRUEL CRUEL WORLD.


That being said, buku ini punya banyak kekurangan yang kalo ditilik-tilik sebenernya mirip banget sama kritik gue terhadap TMI. I'll try to elaborate.


Pertama, bagian klimaksnya. Final battle yang jadi semacam showdown antara Shadowhunter dengan infernal devices-nya Mortmain sebetulnya punya potensi, seandainya ada beberapa poin yang dieliminasi oleh Clare. Yang paling pertama bikin gue garuk-garuk kepala adalah fakta bahwa salah satu tokoh, dari deskripsi peristiwa yang menimpanya, harusnya dead for good. Akan tetapi somehow dia survive, loh. Gue nggak ngerti itu gimana caranya. Call me a masochist, sesayang apapun gue sama itu karakter, gue tetep berpendirian bahwa dia harusnya mati.


Poin selanjutnya adalah klimaksnya. Kalau menurut sahabat gue, terlalu deus ex machina. Deus ex machina tuh semacam memanfaatkan plot device yang udah ada supaya klimaks itu bisa selesai dengan mudah tanpa mengorbankan banyak pihak protagonis. Ibaratkan, bantuan yang turun dari surga gitu. Gue rasa akan lebih masuk akal kalau battle itu dibiarkan aja berlangsung dengan korban jiwa yang memang harusnya berjatuhan dalam pertempuran macam begini. Alih-alih, kita malah disuguhi plot device yang kelewat convenient.


Kedua, epilognya. I hate HATE HATE HATEHATEHATE HATE that epilogue. Nggak akan ngomong lebih lanjut karena akan spoil banget, jadi cukup tahu aja gue benci banget sama ending macam begitu. Inget kritik gue di City of Heavenly Fire? Betapa seharusnya Clare menyudahinya tanpa perlu menambahkan epilog? Same thing happened here.


Rasanya Clare itu nggak usah nulis epilog aja, deh. Epilognya selalu menghancurkan semua opini positif gue mengenai bukunya.


Overall, Clockwork Princess...



Click here to read the review in English.



0 views0 comments

Comments


bottom of page