Judul: Dune (Dune Chronicles, #1)
Penulis: Frank Herbert
Penerbit: Hodder (50th Anniversary Edition)
Publikasi: July 2015 (publikasi pertama 1965)
Tebal: 577 halaman
I must not fear. Fear is the mind-killer. Fear is the little-death that brings total obliteration. I will face my fear. I will permit it to pass over me and through me. And when it has gone past I will turn the inner eye to see its path. Where the fear has gone there will be nothing. Only I will remain.
The Litany Against Fear Book Two: Muad 'Dib
Jadi akuh jujur aja yhaaa, gue baca buku ini karena Christopher Nolan.
Ginii ceritanya. Sebagai Nolan fangirl through and through, gue kebawa heboh pas tahu dia mau rilis film baru tahun ini yang berjudul Tenet. Dan karena duet maut Nolan/Zimmer itu hal yang dikhatami kita-kita ini, gue cukup terkezut pas tahu Hans Zimmer nggak ngerancang score-nya Tenet. Why oh why? Karena dia ditawari Denis Villeneuve untuk ngerancang score Dune. Jadi basically dia bilang ke Nolan: "It's Dune. I can't say no to this."
*Hamilton fangirl intensifies*
Aaanyway, Dune adalah novel science fiction karya Frank Herbert yang cukup fenomenal di kalangan pecinta genre science fiction. Buat gue yang genre favoritnya adalah fantasy, Dune bagi science fiction itu ekuivalennya LotR bagi fantasy. Seems legit, no? Penasaran, gue memutuskan untuk membaca buku ini.
Berhubung science fiction, jadi kita bermain-main dengan setting galaksi, bukan cuma dunia/planet lagi. Protagonis kita adalah House Atreides, keluarga bangsawan yang memerintah di Planet Caladan. Oleh sang Emperor, mereka dipindahtugaskan untuk memerintah di Planet Arrakis. Macam PNS gitu, tapi pindah planet bukan cuma pindah kota HAHA. Nah perintah ini sarat unsur politik karena beberapa hal. Yang pertama, Caladan adalah planet yang subur dengan lingkungan yang bersahabat. Nyaman untuk ditinggali. Arrakis adalah planet padang pasir, di mana air merupakan mata uang dan makhluk berbahaya bersembunyi di balik bukit-bukit pasir yang belum terjamah manusia. Belum lagi keberadaan kaum native Arrakis, kaum Fremen, yang berbahaya. Namun ada satu redeeming quality planet ini yang membikin keluarga yang memimpinnya memiliki kekuasaan nyaris absolut dalam perdagangan antarplanet: sebuah rempah yang bernama melange. Melange dapat memperpanjang umur seseorang dan memungkinkan perjalanan antargalaksi -- dan rempah ini hanya berada di Arrakis.
Duke Leto tahu bahwa penugasan ini adalah jebakan. House Harkonnen yang tadinya menguasai Arrakis kini tergusur dan tentu sedang merancang trik demi kejatuhan keluarga Atreides. Namun ia tak bisa menolak perintah sang Emperor. Jadilah House Atreides pindahan ke planet Arrakis beserta para staff-nya. Dan gue rasa ini saatnya untuk memperkenalkan istri dan anak Duke Leto.
No, wait. Bukan istri, tapi selirnya. Adalah Lady Jessica, seorang yang tergabung dalam sekte Bene Gesserit, kelompok persaudaraan perempuan yang melatih diri baik mental maupun fisik hingga memiliki kekuatan superhuman. Bene Gesserit terkenal misterius dan memiliki peran penting dalam pergolakan politik. Yang cukup mencolok bagi gue adalah kemampuan mereka untuk memanipulasi orang lain hanya dengan kata-kata. Lady Jessica adalah satu-satunya selir yang dimiliki Duke Leto, dikatakan mereka tidak menikah karena alasan politik. Sebagai breeding program Bene Gesserit, Lady Jessica diharuskan melahirkan anak perempuan (YAAS mereka juga bisa menentukan jenis kelamin anak mereka. Gils keren abeis), namun karena ia tahu Duke Leto menginginkan anak lelaki jadilah ia melahirkan Paul. Di awal novel, Paul berusia lima belas tahun dan diuji oleh pemimpin Bene Gesserit, Reverend Mother Helen, dalam ritual yang disebut gom jabbar. Jika gagal, konsekuensinya maut.
Selama sepertiga bagian awal buku ini, kita diperkenalkan dengan dua keluarga bangsawan yang dominan di kisah ini, yaitu Atreides dan Harkonnen. Baron Vladimir, yang somehow mengingatkan gue sama Varys dari Game of Thrones, memplot kehancuran keluarga Atreides bersama anak buahnya, Piter de Vries, seorang Mentat. Mentat adalah sekelompok orang yang terlatih untuk memiliki kemampuan kognitif komputer, karena di lingkup masyarakat ini mereka berusaha menghindari penggunaan artificial intelligence. Duke Leto juga punya Mentat sendiri, yaitu Thufir Hawat. Kalo Piter de Vries cenderung sociopath, Thufir Hawat jauh lebih manusiawi dan sangat setia sama House Atreides.
Staff House Atreides lainnya yang cukup penting adalah Gurney Halleck dan Duncan Idaho, keduanya adalah pelatih combat Paul. Kita juga diperkenalkan akan lingkungan natural dan sosial planet Arrakis. Berhubung planet ini diselimuti padang pasir, air merupakan hal yang sangat berharga. Macam emas. Namun ada ketimpangan sosial yang mencolok. Di rumah keluarga bangsawan, air digunakan begitu leluasa. Sisa-sisanya diberikan bagi warga lokal dengan harga yang sangat tinggi. Berbagai kebijakan/tradisi yang sangat kapitalis ini segera menarik perhatian Duke Leto yang menginginkan adanya reformasi. Ia berusaha merangkul kaum Fremen ke pihaknya.
Sering dianggap bangsa liar, kaum Fremen mengonsumsi rempah melange secara rutin. Efek sampingnya dapat dilihat di bola mata mereka yang berwarna biru muda cerah. Adalah Liet-Kynes, seorang Planetologis dari kekaisaran yang menjembatani Duke Leto dengan kaum Fremen. Walau bukan seorang Fremen, ia bergaul sangat akrab dengan mereka hingga dikatakan sudah gone native. Dalam salah satu kunjungan ke pabrik pengumpulan melange, mereka diserang oleh makhluk yang dinamakan Sandworm -- cacing berukuran raksasa yang esensial dalam tumbuhnya rempah-rempah tersebut. Sandworm adalah predator paling berbahaya di planet Arrakis; ia tidak hanya memangsa manusia, tetapi juga dapat menghancurkan bulat-bulat bangunan sebesar pabrik yang mereka kunjungi.
Ada hal lain yang penting dari kunjungan itu: Duke Leto menyadari pentingnya Liet-Kynes untuk memperoleh kepercayaan kaum Fremen, dan Liet-Kynes pun menyadari bahwa House Atreides dapat menginspirasi loyalitas kaum Fremen.
Sanggupkah Duke Leto menjalankan strategi politiknya, sementara nyawanya menjadi sasaran? Apa agenda Emperor dalam menunjuknya memerintah Planet Arrakis? Dan yang terpenting... siapakah Muad 'Dib atau Lisan al-Gaib yang diramalkan kaum Fremen ini?
EGGLYSIS
Gue punya ekspektasi yang sangat tinggi sebelum membaca novel ini. Ekuivalen LotR di genre science fiction? Alasan Hans Zimmer nge-ditch Tenet-nya Nolan? Brrrring it!
Hal yang sangat menonjol dari penulisan Herbert adalah betapa kisahnya sangat bertumpu pada dialog. Kalo Tolkien bisa menghabiskan lima paragraf untuk mendeskripsikan sebuah pohon, dialog Herbert lah yang berfungsi sebagai narasi. Ini merupakan nilai plus, tapi juga merugikan penuturan kisah. Di satu sisi, pacing-nya jadi cepat dan cenderung aktif. Sebagai pembaca, kita nggak dibuat bosan atau ketiduran *coughs Tolkien coughs* dengan deskripsi yang berkepanjangan. Sayangnya, penekanan yang amat berat pada dialog ini membikin klimaksnya jadi.... well, antiklimaks. Lima puluh halaman menjelang akhir buku, gue deg-degan nungguin the ultimate showdown. Nggak sabar. Ngebayangin cem Battle of Minas Tirith di buku Return of the King.
EHTAHUNYA KLIMAKSNYA TERJADI DI BELAKANG LAYAR DONG. TAHU-TAHU UDAH KONKLUSI. KAN KESAAAAAAALLL.
POV yang digunakan Herbert adalah 3rd person omniscient -- maksudnya, penuturan orang ketiga yang tahu semuanya. Jadi si penulis bisa bebas lompat-lompat dari satu karakter ke yang lain, atau malah ngambil posisi tuhan dan menjelaskan apa yang sedang terjadi. Ini masalah preferensi, sih, tapi gue bukan penggemar POV ini. Isu gue adalah si penulis cenderung menjelaskan segala sesuatu dengan terlalu gamblang, alih-alih mengambil prinsip "show, don't tell". Pembaca dikasihtau kalo, hey, karakter A ini jahat loh. Hey, karakter B dan C lagi scheming menjatuhkan si Z, loh. I DON'T LIKE IT. Izinkan pembaca untuk memberi respons tersendiri untuk karakter yang lo ciptakan, jangan dikte maunya apa. Kalo lo mau pembaca membenci karakter Y, misalnya, yaa buatlah dia melakukan hal-hal yang menjijikkan. Jangan blatantly bilang, ini gue kenalin ke si Y, sumpah dia jahat banget. Treat your audience as smart.
Karakterisasinya nggak melulu on point, IMO. Paul adalah protagonis utama kita, tapi gue nggak terdorong untuk root for him karena dia nggak punya flaw sama sekali. Tiap kali dia terjun dalam situasi berbahaya, otak gue otomatis tereak: PLOT ARMOUR THICKENS!!!
Kalau bisa memilih, sih, gue suka banget sama Lady Jessica dan Thufir Hawat. Ambisi politik Lady Jessica dan ruthlessness-nya terimbangi dengan baik oleh insting keibuannya. Dalam banyak bagian di buku ini, gue ngerasa dia berbahaya bahkan untuk Paul sendiri, tapi dia sungguh mengasihi anaknya dengan tulus. Thufir Hawat sempet bikin gue emosi because he's a bloody misogynistic bastard, tapi di akhir cerita dia menebus kesalahannya.
Overall, Dune...
Gue masih tetep nungguin filmnya, kok. Pertarungan klimaks yang gue nanti-nanti itu pasti spektakuler di layar kaca. Plus, Oscar Isaac, Josh Brolin, dan Rebecca Ferguson terlalu menggiurkan untuk dilewatkan. Dan jangan lupa, score oleh the one and only, Hans Zimmer! Woot woot!
Comments