Judul: Edensor (Laskar Pelangi, #3) Penulis: Andrea Hirata Penerbit: Bentang Pustaka Publikasi: Mei 2007 Tebal: 290 halaman
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya, dan bangsa yang besar menurunkan sifatnya kepada warganya.
-- Mozaik 18: Katya
Edensor merupakan buku terakhir dari tetralogi Laskar Pelangi yang gue baca. Maksudnya, gue belum baca Maryamah Karpov (IYAH MAAP!). Niatan ada tentu, saudara, tapi waktu dan kesempatan buat beli dan bacanya belum. Janji deh begitu kelar baca langsung gue review.
Anyway, kembali ke review. Di sini setting-nya berubah; kalau biasanya kita mengelilingi budaya dan adat Melayu masyarakat Belitung, kali ini kita justru diajak jalan-jalan keliling Eropa, particularly Prancis, dari sudut pandang dua anak Melayu kesayangan kita, Ikal dan Arai.
Ikal dan Arai memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studi mereka di, tak lain dan tak bukan, universitas impian mereka, yaitu Sorbonne. Ikal mempelajari ilmu ekonomi, sedangkan Arai bergulat di bidang biologi. Di buku ini kita lihat betapa keduanya mengalami culture shock akibat budaya Melayu dan Eropa yang sungguh bertolak belakang. Khususnya, karena kisah kita diambil dari sudut pandang Ikal, kita lihat betapa Ikal yang amat brilian semasa SD-SMA ternyata harus mati-matian mengejar ketinggalan di kelas akibat bahasa pengantar yang bukan bahasa Indonesia. Boro-boro jadi murid terpintar, bisa nggak ngulang aja udah sukur. Kita diperkenalkan akan teman-teman satu jurusan Ikal yang unik-unik dan berasal dari berbagai belahan dunia, mulai dari dua cewek cantik yang saling saingan, Katya yang jadi rebutan cowok-cowok, sampai tiga orang mahasiswa penerima beasiswa (sama seperti Ikal) yang kemudian bersama dengan Ikal membentuk sebuah geng yang dinamai 'The Pathetic Four' -- dengan alasan bahwa keempatnya sama-sama berjuang mati-matian supaya nggak ngulang mata kuliah.
Kehidupan Ikal dan Arai di Eropa sangat berwarna; mereka bertemu dengan kelompok seniman jalanan nyentrik, bahkan sempat backpacking keliling Eropa dalam arti yang sesungguhnya -- sampai ke bagian hampir nyasar. Namun yang paling mengejutkan bagi Ikal tentunya ketika Katya menaruh hati kepadanya. Tapi mengapa A Ling tak pernah hilang sedetik pun dari hatinya?
EGGLYSIS
Tetralogi Laskar Pelangi memiliki tempat tersendiri di hati gue, tapi kalau dibandingkan sama dua buku pendahulunya, Edensor yang paling lemah. Cara penulisan Hirata masih tetap magis dan sanggup membuat kita tertawa, menangis, dan mengernyit di saat bersamaan. Namun ada yang terasa hilang dari buku ini, yang tadinya terasa begitu kuat di Laskar Pelangi dan masih cukup terasa di Sang Pemimpi. Mungkin karena unsur mimpi yang ingin digapai dan semangat yang terkandung di dalamnya udah nggak sekental di dua buku pertama karena, let's face it, mimpi itu sedang mereka hidupi dan kini mereka dihadapkan dengan tantangan lain.
Tapi secara keseluruhan, buku ini nggak mengecewakan dan Hirata masih tetap menginspirasi.
Overall, Edensor...
Click here to read the review in English.
Comments