Judul: Frostbite (Vampire Academy, #2) Penulis: Richelle Mead Penerbit: Razorbill Publikasi: 10 April 2008 Tebal: 336 halaman
You can't force love, I realized. It's there or it isn't. If it's not there, you've got to be able to admit it. If it is there, you've got to do whatever it takes to protect the ones you love.
Setelah hampir lewat setengah abad, akhirnya gue memutuskan untuk melanjutkan baca seri ini. Dan honestly, begitu buka halaman pertama, gue udah siap dibikin eneg sama buku ini. Bukan karena prejudiced sama genre YA, tapi pengalaman sama buku pertama cukup bikin gue waspada. Kalo dibandingin sama Twilight, VA jauuuuuuuh lebih baik. Ibaratkan, Twilight tuh minus, VA tuh slightly above average. World building-nya termasuk oke, ceritanya menarik, dan alurnya mengalir. Trus apa dong yang bikin gue segitu prejudiced-nya?
Pet peeve gue di dunia literatur: heroin yang unreasonable, shallow, dan whiny.
Oke, Rose nggak whiny. Dia tough. Tapi ada beberapa trait-nya yang bikin gue geleng kepala, rolling eyes, dan mendecakkan lidah. I'll discuss later.
Frostbite diawali dengan perjalanan Rose dan Dimitri menuju rumah salah satu keluarga Moroi yang dijaga guardian legendaris, Arthur Schoenberg. Arthur akan menguji Rose dalam Qualifier Exam-nya. Sesampainya di tujuan, yang mereka temui adalah bekas pembantaian keluarga itu oleh kaum Strigoi. Arthur dan guardian lainnya tewas. Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa silver stake, yang biasa digunakan untuk membunuh Strigoi, digunakan untuk memusnahkan ward yang berfungsi sebagai pengaman rumah itu. Karena Strigoi tidak mungkin bisa memegang silver stake, hanya ada satu kesimpulan yang bisa diambil: Strigoi bekerja sama dengan manusia.
Berita ini mengejutkan kaum Moroi dan Dhampir. Akibatnya, banyak siswa yang diperintahkan orangtuanya untuk tinggal di St Vladimir's selama libur musim dingin. Ini mengundang banyak kekecewaan, sampai sebagian dari mereka mempunyai ide untuk menyewa resort ski di Idaho agar para siswa dan keluarganya dapat berkumpul di sana.
Ooh, jangan lupakan romance plotnya. Christian dan Lissa basically lagi jadi lovebirds banget, jadi nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Yang lagi naik turun banget adalah plotnya Rose dan Dimitri. Yanno, their forbidden love... Yang gue suka adalah keduanya nggak jadi emo dalam rangka menahan perasaan mereka. It's refreshing.
Hambatan dalam hubungan mereka datang dalam wujud Tasha Ozera, tantenya Christian, yang asyik, berpikiran terbuka, badass,... tapi juga dijodohkan dengan Dimitri. Ia ingin merekrut Dimitri menjadi guard-nya dan ingin menjalin hubungan dengannya. Nggak terlalu aneh karena keduanya emang udah lama berteman. Mulailah kecemburuan Rose menyala-nyala.
Bukan cuma Dimitri yang punya lady friend baru. Rose juga nggak kalah, walau kayaknya dia sendiri nggak sadar. Adalah Adrian Ivashkov, keluarga kerajaan Moroi, yang memiliki predikat bad boy di kalangan vampir. Adrian jelas tertarik (either romantically or sexually) sama Rose. Di lain pihak, Mason yang udah lama memendam perasaan sama Rose kini berani jujur. Dan Rose kini terjebak di pertigaan. :P
Konfliknya nggak melulu soal hormon remaja, kok. Mendekati klimaks, tiga siswa St Vladimir's memutuskan untuk lari dari resort untuk memburu Strigoi. Semuanya kini ada di tangan Rose dan Christian untuk menyelamatkan mereka sebelum terlambat.
EGGLYSIS
Like I said, gue memulai buku ini dengan estimasi akan dibuat eneg pada akhirnya. Jadi gue udah mempersiapkan mental gue layaknya baca The Mortal Instruments. Dan sampai pertengahan cerita, gue nggak dikecewakan sama persiapan gue itu. Berkali-kali Rose sukses bikin gue rolling eyes atau mendengus. Dia emang nggak whiny seperti kebanyakan heroin YA pada umumnya, tapi jalan pikiran Rose tetep bikin gue pengen getokin kepalanya pake batu. Dia arogan. At some point, kearoganan remajanya itu bikin gue gedeg karena dia berasa superior, berasa paling smart, dan berasa paling hot. Richelle Mead emang menggambarkan Rose sebagai totally hot, tapi malesin lah kalo dikit-dikit itu terus yang dibawa. Dan yang ngomong Rose sendiri pulak, bukannya orang lain.
Hal lain yang bikin gue eneg sama Rose adalah betapa sexed up-nya pikirannya. Di salah satu scene, para Moroi berdebat tentang menggunakan kekuatan mereka sendiri untuk melawan Strigoi atau memaksa Dhampir-Dhampir muda untuk dipercepat menjadi guard. Tasha memberi argumen yang sangat bagus (sesuatu tentang gender, gue lupa persisnya apa, dan dia menggunakan kata 'sex') dan Dimitri mendengarkan dengan saksama. Tahu apa yang ada di pikiran Rose? Seks. Menurutnya, Dimitri pasti tertarik karena membayangkan seks bersama Tasha.
Seriously, gurl?
To be honest, gue nggak merasakan chemistry dari hubungan Dimitri dan Rose. Sorry to be blunt, shippers. Gue lebih prefer Christian dan Lissa.
So, yeah. Gue udah siap banget all out ngasih rating dan review jelek buat buku ini. Sampai tiba di bagian klimaks.. and I was stunned. Richelle Mead is good. Not spectacularly, brilliantly amazing, awesomesauce, etc, but still good. Dan tersadarlah gue. Ini buku Young Adult. Rose dan teman-temannya masih remaja. Vampir, mungkin, tapi tetap remaja dengan segala pergolakan emosi dan hormon mereka. Suka nggak suka, buku ini ditulis dari sudut pandang Rose, dan itulah karakternya.
Yang penting di sini sebenarnya adalah fakta bahwa Rose bertumbuh. Dan Richelle berhasil bikin gue percaya bahwa Rose di akhir cerita dan di awal cerita berbeda. Dia udah melalui pengalaman yang mengguncang mentalnya, dan dia berubah. Nggak drastis, mungkin. Biar bagaimanapun, gue mulai menikmati celetukan asal Rose yang suka nggak pake mikir itu. Tapi dia lebih bertanggung jawab.
Pada akhirnya, Richelle berhasil bikin gue merasakan apa yang Rose rasakan.
Overall, Frostbite...
Click here to read the review in English.
Comments