top of page
Writer's pictureDelvirah Sabatini

Harry Potter and the Cursed Child


Judul: Harry Potter and the Cursed Child Penulis: Jack Thorne Penerbit: Little Brown Publikasi: 31 Juli 2016 Tebal: 343 halaman


My geekness is a-quivering.

-Act 4, Scene 3


Harry Potter and the Cursed Child adalah buku terakhir yang gue santap habis sebelum berangkat kuliah ke Aberdeen. Masih inget banget excitement waktu nunggu jadwal rilis buku ini, trus pre-order di Kinokuniya, trus pas tanggal 31 Juli dengan bangganya nenteng plastik belanjaan ke rumah. Good times. Trus nyampe rumah langsung masuk kamar dan dibaca dengan penuh penghayatan. Oh, good times, indeed.


Sejujurnya, ekspektasi gue sebelum baca buku ini tinggi banget. Gimana enggak, Harry Potter is the series that grew up with me; I even refer to it as my childhood. Banyak seri fantasi lain yang gue akhirnya jatuh sayang dan sebenernya jauh lebih bagus. Tapi Harry Potter itu.... spesial. Jadi kebayang dong, setelah 10 tahun berlalu menutup chapter epilogue di Deathly Hallows dan dapet kabar kalo ada the eighth story after all. A fangirl can only take so much!


Jadi bayangkan reaksi gue ketika, masih dengan bubbling excitement, ngeh sama tulisan ini di cover:


BASED ON AN ORIGINAL NEW STORY BY J. K. ROWLING JOHN TIFFANY & JACK THORNE

Rasa hati udah mulai nggak enak tuh. Tapi masih berusaha berpikiran positif. Kali aja itu dua orang produsernya. It's JKR's original story, right? Her story.


Masuklah kita ke dedication page. Dan perjuangan gue untuk berpikiran positif langsung runtuh baca dedication dari J. K. Rowling herself.


J. K. ROWLING To Jack Thorne, who entered my world and did beautiful things there.


....jadi maksudnya buku ini bukan ditulis langsung sama JKR herself? Jadi ini orang lain yang nulis, this stranger called Jack Thorne? Jadi ini cuma fanfiction? Penyesatan publik! Outrageous! BLASPHEMY!!

Oke.


Setelah melalui emotional outburst macam di atas, gue akhirnya bisa cukup mengendalikan diri untuk mulai membaca. Semua pesimisme dikesampingkan. Gue siap menjadi sangat, sangat objektif.


.....NOT.


Well, at least sampai sekitar sepuluh halaman pertama lah, ya. Spesifiknya, sebelum semua shenanigan dimulai. Tepatnya, di bagian yang masih disadur banget dari epilognya Deathly Hallows. Selebihnya gue kecewa. Sangat kecewa. Karakterisasinya, especially untuk tokoh-tokoh yang udah akrab banget sama kita, terasa sangat off. Banyak bagian yang nggak masuk akal. Banyak bagian yang logikanya menyalahi world building yang udah dibangun dengan sangat rapi oleh JKR di original series-nya.


Mari kita masuk ke inti ceritanya dulu. Seperti yang udah kita tahu, cerita ini mengambil setting 19 years after The Battle of Hogwarts. Ron dan Hermione menikah, dan keduanya memiliki dua anak: Rose dan Hugo. Harry menikah dengan Ginny dan mempunyai 3 anak: James Sirius, Albus Severus, dan Lily Luna.


Ini tahun pertama Albus masuk Hogwarts. Dan doi super-nervous! Alasan utamanya adalah sorting ceremony. Dia takut banget kalo nggak masuk Gryffindor. Seperti yang kita inget, sebelum Albus boarding Hogwarts Express, Harry sempet ngasih peptalk soal bagaimana namanya berasal dari Albus Dumbledore dan Severus Snape, salah satu dari mereka adalah dari Slytherin, "...and he was the bravest man he's ever known."


Di Hogwarts, Albus temenan sama Scorpius, anaknya Malfoy. Nah, Scorpius ini digosipin adalah anaknya Voldemort. Karena Draco dan Astoria sempet cukup lama nggak dapet anak, dan sekalinya Astoria hamil, orang-orang bilang kalo doi turn back time ke masa Voldy masih hidup dan conceived by him. Agak twisted dan bikin jijay, tapi dunia nyata memang sejahat itu. Semakin twisted rumornya, orang akan semakin percaya, bukan begitu? Nah, hubungan pertemanan yang super bromance banget ini rupanya banyak dicibir orang. Belum lagi Albus yang merasa terbebani oleh popularitas Harry dan nggak bisa memenuhi ekspektasi orang banyak. Jadilah hubungan ayah dan anak ini merenggang.

Suatu hari, rumah Potter kedatangan tamu yang pastinya akrab di telinga kita. Amos Diggory, ayah dari Cedric Diggory. Masih inget apa yang dikatakan Voldemort saat menyuruh Pettigrew untuk membunuh Cedric?


'Kill the spare!' 'Avada kedavra!'


Menurut Amos, Cedric tidak layak mati. Karena dia cuma spare. Cedric nggak perlu mati; Voldemort akan tetap bangkit, akan tetap menguasai Ministry of Magic, dan akan tetap dikalahkan oleh Harry. Dan sebagai kepala Auror yang sedang menyelidiki kasus time-turner yang dimiliki Nott, Harry diminta untuk menyerahkan salah satu time-turner yang disitanya kepada Amos supaya dia bisa menyelamatkan Cedric. Tentu saja Harry menolak. Mereka berargumen selama beberapa saat, sampai akhirnya Amos menyerah dan memutuskan untuk pulang.


Yang mereka nggak tahu adalah bahwa Albus menguping pembicaraan mereka dan memutuskan bahwa inilah kesempatannya untuk membuktikan kepada dunia bahwa ia bisa memenuhi tuntutan sebagai anaknya Harry Potter. Bersama Scorpius dan keponakan Amos yang bernama Delphi, mereka bertiga memulai agenda untuk menyelamatkan Cedric Diggory di masa lalu.


...tapi tentunya kita semua masih ingat pelajaran penting dari Prisoner of Azkaban: jangan bermain-main dengan waktu, kan? Bahwa apapun yang kita lakukan untuk mengubah masa lalu, tindakan sekecil apapun, akan punya ripple effect yang mempengaruhi masa kini. Ya, kan?


EGGLYSIS

Mari kita mulai dari hal yang bagus. Kita harus selalu mulai dengan hal yang positif. Gue suka penggambaran para karakter kesayangan kita di kehidupan dewasa mereka, lengkap dengan pekerjaan dan dinamika keluarga masing-masing. Hei, Harry adalah kepala Auror! Ron meneruskan Weasleys' Wizard Wheezes! Hermione juga bekerja di Kementerian Sihir! Masih inget waktu mereka remaja labil yang berusaha mengalahkan Voldemort? Good times.



Dan Scorpius Malfoy! MY SWEET ADORABLE BABY DORK SCORPIUS MALFOY TOO PURE FOR THIS WORLD! Kalau ada satu karakter baru yang gue super sayang dan pengen lindungi dari kekejaman dunia ini *halah* adalah Scorpius Malfoy. <3


Hmmm. Udah, kayaknya itu doang yang positif.


Yang menjadi komplen utama gue adalah tulang punggung dari kisah ini: penggunaan time-turner. Gue masih inget banget kalau JKR menegaskan kalau semua time-turner di dunia musnah setelah pertarungan di Departemen Misteri di Order of the Phoenix. Menurutnya, eksistensi time-turner riskan berada di dunia yang udah Voldy-free, karena selalu ada peluang orang aneh yang berusaha membangkitkan kembali kekuatan sihir gelap.


Yah trus kok ya itu yang dijadiin konflik utama?? But I digress, maybe there is still salvation in the plot.


TAPI ENGGAK DONG.


Betapa mudahnya Albus, Scorpius, dan Delphi mondar-mandir ke masa lalu, ngutak-ngatik, trus ketika ada yang berubah, mereka kembali lagi untuk benerin. Kalo konsekuensi bermain-main dengan masa lalu dapat diselesaikan dengan mudah, gampang banget dong orang bolak-balik dan mainin sejarah? Kenapa konsekuensinya terlalu temporary? Kenapa terlalu mudah?


Belum lagi plot mengenai the cursed child, a.k.a. anaknya Voldemort. Huuuuuum gue berusaha untuk nggak spoiler, tapi ini bener-bener mengganggu gue banget. Intinya, gue nggak bisa membayangkan seorang Voldemort melakukan sexual act untuk punya anak. Se-twisted apapun dia. Kita masih inget kan karakter Voldemort? Dia menganggap dirinya terlalu agung untuk dunia ini; enggak mungkin Voldemort mau berhubungan seks dengan seorang wanita. Dan apakah kita lupa kalau Voldemort nggak kenal yang namanya cinta? Dia dikandung dengan ayah yang berada dalam pengaruh love potion, ingat? Ada yang berargumen, oh bisa aja dong Voldemort berhubungan seks tapi dia mencari kepuasan sadis. DUDE apakah kita baca 7 buku Harry Potter yang sama? BULLSHIT. Kalau ada yang bilang ada probabilitas dia akan berhubungan seks dengan seorang wanita, orang itu nggak tahu pengkarakterisasian. Apalagi cerita yang udah well-fleshed macam Harry Potter. So, no. A big and resounding no.


Overall, Harry Potter and the Cursed Child...


Kaget kenapa rating-nya bukan yang terburuk?


Alasannya sesimpel karena gue udah nonton play-nya. Adaptasi theatre Harry Potter and the Cursed Child adalah pengalaman theatre terbaik yang pernah gue alami -- dan gue rasa kisahnya ditranslasikan dengan baik di panggung daripada di halaman buku.


Rasanya mempublikasikan script The Cursed Child adalah keputusan yang sangat salah.




12 views0 comments

Comentários


bottom of page