Judul: Harry Potter and the Half-Blood Prince (Harry Potter, #6) Penulis: J. K. Rowling Penerbit: Bloomsbury Publikasi: 16 Juli 2005 Tebal: 607 halaman
There's no need to call me 'sir', Professor.
-- Chapter Nine: The Half-Blood Prince
Ini adalah buku terfavorit gue dari seluruh seri. There, I've said it!
Gue pun terkejut sama sentimen ini, karena waktu pertama kali baca lebih dari satu dekade yang lalu, buku ini bikin gue kesel. Pertama, entah kenapa gue cepet banget ngehabisinnya -- cuma 9 jam! Padahal udah sengaja dimolor-molorin, tapi ada sesuatu dari buku ini yang bikin mata rakus membacanya. Kedua, karena ending-nya. Tapi kita akan bahas itu nanti.
Mirip sama Harry Potter and the Goblet of Fire, kita nggak disapa oleh Harry di chapter pertama, tetapi oleh Perdana Menteri Inggris yang terpaksa bertemu dengan Cornelius Fudge yang membawa kabar mengenai kebangkitan Voldemort. Keunikan buku ini nggak berhenti sampai di situ. Di chapter kedua berjudul 'Unbreakable Vow', kita dipertemukan dengan Snape yang dikunjungi oleh tamu mengejutkan: Narcissa Malfoy dan Bellatrix Lestrange.
Di Privet Drive nomor 4, Harry dijemput Dumbledore untuk menghabiskan sisa liburan musim panasnya bersama keluarga Weasley. Namun, sebelumnya Dumbledore meminta bantuan Harry untuk membujuk kolega lamanya, Horace Slughorn, untuk mau kembali mengajar di Hogwarts.
Memasuki usia enam belas tahun membuat teman-teman Hogwarts Harry mulai menunjukkan gejala reaktif hormon-hormon remaja. Dari yang labil sampai yang duhya goblok jangan gitu-gitu amat. Setelah jadi bulan-bulanan dunia sihir selama setahun, kini Harry menjadi idola. Banyak cewek-cewek abege yang naksir, bahkan tak segan menyelipkan Amortentia (ramuan cinta) kepadanya. Akan tetapi, hanya satu cewek yang menyita perhatian Harry. Yups, Harry Potter, kapten tim Quidditch Gryffindor, Seeker terbaik, pahlawan dunia sihir, The Chosen One, sedang jatuh cinta -- dan bukan pada Cho Chang.
Di luar gejolak kehidupan remaja, ada hal penting yang harus dipelajari Harry. Tahun ini, Dumbledore mengambil posisi sebagai mentornya. Demi mempersiapkan diri dalam menghadapi Voldemort, ia membawa Harry ke puluhan tahun yang lampau untuk mengenal bukan hanya Tom Riddle muda, melainkan juga kedua orangtuanya. Apa yang ia pelajari dalam memori-memori ini membawanya selangkah lebih dekat untuk mengetahui apa yang harus dilakukan untuk mengalahkan Voldemort.
Termasuk mengorek memori Slughorn saat ia secara tak sengaja membantu Tom Riddle mencapai keabadian.
EGGLYSIS
Harry Potter and the Half-Blood Prince masuk kategori buku jembatan -- julukan yang gue sematkan pada buku yang mendahului buku pamungkas dalam sebuah serial. Biasanya, buku jembatan bukanlah favorit gue karena kisahnya cenderung tanggung. Semuanya dirancang sebagai pemanasan agar pembaca siap menghadapi final showdown di buku selanjutnya yang pastinya bakalan kick ass!
Berbeda dengan Half-Blood Prince. Buku ini intriguing dari awal sampai akhir. Yang pertama bikin gue jatuh hati adalah humor yang sudah sangat gue rindukan dari Order of the Phoenix. Fred dan George Weasley memang sudah lulus dari Hogwarts dan kita kehilangan prankster kesayangan. Tapi, tingkah dan kegoblokan Harry, Ron, dan Hermione lebih dari menghibur. Beberapa plot favorit gue adalah Slug Club, Felix Felicis, dan Amortentia salah sasaran. ;)
Tetapi jantung dari buku ini adalah memori-memori mengenai masa lalu Voldemort. Persiapkan dirimu untuk akhirnya bisa memahami siapa sosok yang dulu dikenal sebagai Tom Riddle, murid teladan Hogwarts, ini dan apa yang membuatnya menjadi sosok penyihir hitam paling berbahaya. Kita akan bertemu dengan kedua orangtuanya sebelum mereka menikah dan Tom lahir di dunia. Esensinya sebagai keturunan Salazar Slytherin pun digali. Dan yang terpenting -- seberapa jauh Voldemort telah tenggelam dalam misinya mengalahkan maut?
Jangan lupa siapkan tisu di bagian akhir. Entah kamu sudah menerkanya sejak awal atau enggak, bagian akhirnya akan membuatmu menangis sesenggukan.
Overall, Harry Potter and the Half-Blood Prince...
Comments