Judul: Harry Potter and the Philosopher's Stone (Harry Potter, #1) Penulis: J. K. Rowling Penerbit: Bloomsbury Publikasi: Juni 2017 (20th Anniversary, Ravenclaw Edition) Tebal: 350 halaman
"Mr. and Mrs. Dursley, of number four Privet Drive, were proud to say that they were perfectly normal, thank you very much."
Chapter One: The Boy Who Lived
Greetings, pembaca Egg & Co.!
Selamat datang di review pertama dari buku paling bersejarah dalam hidup guah!
Selamat datang di review pertama dari Egg & Co. yang baru!
Di tahun 2020 yang durjana ini, gue nggak percaya kalo masih ada manusia yang belum pernah denger soal Harry Potter. Seri ini udah mencapai status legendaris yang sama abadinya dengan The Lord of the Rings. Kalopun belum pernah baca bukunya, pasti udah nonton filmnya. Barang satuuu aja. Atau paling nggak udah tahu premi ceritanya: seorang anak laki-laki yang mendapat kejutan bahwa ia seorang penyihir pada usia 11 tahun. Bukan hanya penyihir biasa, tapi sosok nyaris-mesias yang mengalahkan penyihir hitam paling berbahaya saat ia baru berusia setahun.
Kalo masih nggak mudeng juga, fix gue Crucio. *sadeis*
Dunia yang dibangun J. K. Rowling mungkin nggak sekompleks The Lord of the Rings maupun A Song of Ice and Fire, tapi yang pasti daya magisnya sanggup memikat jutaan anak-anak dan orang dewasa di seluruh dunia. Pertama kali membacanya waktu berusia 8 tahun, gue langsung punya cita-cita buat jadi penyihir. Mimpi gue sederhana: menerima surat masuk Hogwarts pas ulang tahun yang ke-11. Dan sampai sekarang gue masih yakin burung hantu yang ditugasin bawain surat gue tuh si Erroll makanya nggak nyampe-nyampe. :P
Satu hal yang nggak disadari gue dua dekade lalu adalah betapa rapinya Rowling menjalin plot demi plot, subplot demi subplot. Buku ini bertumbuh sama seperti pembacanya: awalnya tampak seperti buku petualangan anak-anak pada umumnya, sampai si penulis memutarbalikkan semua ekspektasi dan menyadarkan kita bahwa kisah ini sesungguhnya gelap dan nggak takut menyentuh tema kematian.
Yups. Di salah satu interview, Rowling menceritakan bahwa ibunya meninggal saat ia sedang menulis Harry Potter and the Philosopher's Stone. Kematian ibunya mempengaruhi banyak plot yang ia kembangkan dan, andai itu tidak terjadi, Harry Potter yang ada mungkin berbeda dengan yang kita kenal sekarang.
Adalah seorang anak laki-laki bernama Harry Potter yang tinggal bersama keluarga om dan tantenya, keluarga Dursley. Aunt Petunia adalah adik dari ibu Harry. Ayah dan ibunya meninggal saat ia masih bayi. "Dalam kecelakaan mobil," begitu jelas Uncle Vernon dan Aunt Petunia tiap kali Harry bertanya mengenai kedua orangtuanya.
Tinggal bersama sepupunya, Dudley, yang digambarkan sebagai mirip babi bersayap (gue SUKAK banget sama analoginya Rowling! :D ), Harry mengalami child abuse sih kalo gue selidiki sekarang. Nggak pernah digebukin atau gimana, tapi yaa bayangin aja kamar tidurnya itu lemari di bawah tangga, trus barang-barangnya semua lungsuran Dudley. Belum lagi kalo tiba-tiba hal-hal aneh terjadi tanpa bisa ia kendalikan, misalnya rambutnya yang dipotong jelek banget sama Aunt Petunia langsung tumbuh lebat lagi besok paginya, dia pasti langsung dikurung berhari-hari, mungkin berminggu-minggu.
Sampai tibalah hari ulangtahunnya yang ke-11. Beberapa hari sebelumnya, Harry mulai menerima surat dari entah siapa. Surat yang keluarga Dursley sama sekali tak ingin ia baca, sampai mereka melarikan diri ke pulau di tengah laut.
Hal yang tidak diperhitungkan keluarga Dursley adalah pihak pengirim juga ngotot bahwa Harry harus menerima dan membaca surat itu. Di tengah malam ulang tahunnya yang ke-11, sesosok hampir-raksasa merangsek masuk ke gubuk tempat mereka bersembunyi dan menyampaikan kabar yang mengubah hidup Harry selama-lamanya.
EGGLYSIS
Untuk buku fantasy yang target audience-nya anak-anak, Harry Potter and the Philosopher's Stone sempurna. Konsepnya menarik dan fresh saat pertama kali terbit: sebuah sekolah sihir untuk anak-anak dan remaja. Dunia sihir yang berdampingan dengan manusia normal. Belum lagi Hogwarts yang memiliki daya tarik tersendiri: boarding school khas Inggris dengan pelajaran-pelajaran sihir dan, yang lebih keren lagi, kita bisa tinggal di kastil! Bahkan di usia yang udah jompo ini pun gue masih suka berandai-andai soal Hogwarts.
Ibaratkan Rowling melukiskan alunan musik yang magis di tiap halamannya. Ialah yang pertama kali membikin gue tertarik dengan bahasa Latin -- beberapa nama karakter, tempat, benda, mantra sihir adalah serapan dari bahasa Latin, juga dengan mitologi dan sastra klasik. Dia bermain-main dengan kata. Diagon Alley -- diagonally? Grimauld Place -- Grim Old Place? But I'm getting ahead of myself.
Bahkan untuk buku anak-anak, Rowling tidak ragu memainkan plot twist dengan handal. Ia tidak meng-underestimate pembacanya. Klimaks saat pelaku yang hendak mencuri Philosopher's Stone itu diungkapkan adalah momen terbaik buku ini. Tidak ada seorangpun yang menyangka. Bahkan di usia sekarang ini, gue mengakui bahwa Rowling menyembunyikan berbagai petunjuknya dengan rapi.
Overall, Harry Potter and the Philosopher's Stone...
Comments