Judul: Inferno (Robert Langdon, #4) Penulis: Dan Brown Penerbit: Doubleday Publikasi: 14 Mei 2013 Tebal: 480 halaman
Only one form of contagion travels faster than a virus. And that's fear.
Setelah The Lost Symbol yang bikin ilfil habis-habisan, Dan Brown menunjukkan tanda-tanda kebangkitan melalui Inferno. Bagian awal novel ini sanggup membuat para pembaca mengalami sensasi yang sama seperti waktu baca Angels and Demons; tegang, penasaran, dan nggak mau lepasin ini buku bahkan buat meleng sekalipun. Bagian pertengahan dan ending, hmmm... kita bahas nanti.
Robert Langdon terbangun di sebuah rumah sakit di Florence, Italia, tanpa sedikitpun memori mengapa, bagaimana, dan sejak kapan ia berada di sana. Sienna Brooks, salah satu dokter yang merawatnya, mengatakan bahwa ia mengalami trauma akibat tembakan dan berjalan ke UGD rumah sakit dalam keadaan terluka. Namun belum juga beberapa menit siuman, seorang wanita menerobos masuk rumah sakit dan melepaskan beberapa tembakan yang melukai salah satu dokter. Dengan refleks yang amat cepat, Sienna menarik Langdon ikut melarikan diri bersamanya.
Keduanya bersembunyi di apartemen Sienna, berusaha menyamarkan identitas mereka sambil merencanakan rencana pelarian lebih lanjut. Sementara berganti baju, Langdon menemukan sebuah tabung silindris dengan tanda biohazard di dalam kantung jasnya. Di dalam tabung itu terdapat sebuah proyektor yang menunjukkan lukisan Map of Hell karya Botticelli yang telah dimodifikasi. Bukan hanya itu yang membingungkan, satu panggilan telepon ke kedutaan AS membuat Langdon paham bahwa pemerintahan Amerika Serikat menginginkan kematiannya. Maka dimulailah pelarian Langdon dan Sienna berkeliling Italia sambil mencari tahu misteri yang tersimpan dalam tabung silindris di kantung jas Langdon dari kejaran pihak yang berwenang. Somehow, misteri yang hendak mereka kuak ini berkaitan dengan rencana seorang pria yang bunuh diri dua minggu sebelumnya -- seorang jenius gila yang terobsesi dengan Inferno karya Dante Alighieri.
EGGLYSIS
Awalnya, Dan Brown seakan meninggalkan formula penulisannya di buku ini. Langdon kembali berada di tempat asing, tapi kali ini dia nggak tahu kenapa dia berada disana dan dia harus memecahkan misteri yang dia sendiri pun nggak ingat apaan. Memasuki pertengahan cerita, ketika semuanya mulai tampak jelas, baru kelihatan kalau, yak sodara-sodara, formulanya masih tetap sama ternyata! Cuma diputer sikit aja biar kita nggak sadar. *facepalm*
Di luar itu, sebenarnya Inferno bisa saja jadi karya terbaik Brown, bahkan ngalahin Angels and Demons. Namun -- kalian pasti tahu pengetahuan Robert Langdon yang cenderung kayak ensiklopedia, dong? Yapp, itu titik lemahnya -- memasuki pertengahan cerita, Brown keasikan memamerkan bahan-bahan riset dan pengetahuannya, penggambaran suasana, arsitektur gedung, dan sejarah yang terlalu mendetail bikin pembaca kelelahan. Efeknya, begitu memasuki bagian klimaks, malah rasanya jadi antiklimaks. Walapun ending-nya gue suka banget, tapi efeknya jadi kurang kena karena udah keburu snoozefest di tengah.
Overall, Inferno...
Click here to read the review in English.
Comments