top of page
Writer's pictureDelvirah Sabatini

Last Argument of Kings (The First Law, #3)


Judul: Last Argument of Kings (The First Law, #3) Penulis: Joe Abercrombie Penerbit: Gollancz Publikasi: 20 Maret 2008 Tebal: 422 halaman


But you can't truly hate a man without loving him first, and there's always a trace of that love left over.

Last Argument of Kings adalah buku terakhir dari trilogi The First Law karya Joe Abercrombie. Buku ini sebenarnya udah kelar gue baca pas malam natal tahun lalu (maksudnya, tahun 2014). Man, betapa itu malam natal tersuram gue. Bukan karena fakta karena gue baca buku seharian, tapi karena... ya, buku ini.


Dan itu juga alasan kenapa gue butuh waktu untuk nge-review buku ini. Bahkan sampai udah baca dua buku sesudahnya. I need to struggle with the depression this book brings.


Bayaz dan geng bukan-Fellowship-of-the-Ring-nya akhirnya mendarat di Adua. Ekspedisi mereka gagal. Batu yang dicari tak ditemukan. Masing-masing pun mengambil keputusan apa yang harus mereka lakukan dengan hidup mereka kini. Bayaz memutuskan untuk tinggal di Adua, masih mengklaim posisinya di council. Ferro, tahu bahwa Gurkish akan menginvasi Adua, juga memutuskan untuk tinggal -- lebih karena ia masih haus darah Gurkish. Logen memutuskan untuk kembali ke North. Dan Jezal memutuskan untuk keluar dari militer dan hidup sederhana dengan Ardee, tak peduli apa kata orang.


Di North, tentara Union kini harus berhadapan dengan pasukan Bethod yang mematikan. Oh, mereka memiliki rencana dengan Dogman and the genk, tentu saja, tapi Bethod memiliki keuntungan: penyihir dan makhluk bernama Feared -- raksasa yang setengah tubuhnya dipenuhi tulisan yang berfungsi sebagai mantra, sangat kuat dan mematikan. Bagaimana mereka bisa mengalahkan kuasa gaib seperti itu?


Tetapi, nggak semuanya mengenai perang. Politik terus dimainkan. Cukup gue katakan bahwa keinginan tokoh-tokoh tersayang kita nggak melulu terwujud sesuai keinginan mereka. Suatu peristiwa terjadi di Adua, yang mengubah kehidupan semua karakter yang terlibat di dalamnya. Jezal mendapati bahwa apa yang dulu ia inginkan ternyata tidak seindah impiannya -- peristiwa yang juga mengubah hidup Kolonel West. Logen dihadapkan dengan mimpi buruknya -- alter egonya yang, sumpah, bikin ngeri. Ferro merasakan kekosongan dalam dirinya -- namun, akankah ia belajar?


Apa yang terjadi dengan Glokta, mungkin kalian bertanya? Well, dia termasuk karakter favorit gue (selain Logen dan West <3 ), nggak mungkin gue melupakan dia. Glokta mengalami apa yang bisa kita sebut sebagai Kasus Terlalu Banyak Master. Arch Lector Sult, yang masih mencurigai Bayaz dan tidak menyenangi perkembangan politik terbaru di Adua, meminta Glokta untuk menyelidiki Bayaz dan menggagalkan apapun itu yang ia rencanakan. Namun Mauthis, utusan dari Bank Valint and Balk, memintanya untuk menghentikan penyelidikannya berdasarkan permintaan siapapun itu yang memberi Glokta uang saat ia berada di Dagoska -- masternya yang lain. Well, you gotta be careful whom you give your allegiance to, no?


Dan Bayaz, well... kejutan datang dari berbagai tempat. Perannya di keseluruhan cerita ini ternyata lebih besar dari yang kita sangka -- bahkan di saat Adua berada di bawah gempuran tentara Gurkish.


EGGLYSIS

The Blade Itself bikin gue tertarik. Sure, buku itu lebih kayak one giant prologue, tapi sukses menggelitik rasa ingin tahu gue. Intrik politiknya seru. Karakter-karakternya unik -- kalian akan susah untuk langsung suka sama bahkan salah satu dari mereka. Sistem sihirnya bikin penasaran.

Before They are Hanged bikin gue bete. Sure, ceritanya seru. Peperangan di North dan kota yang di-siege, hello? Tapi rasanya terlalu monoton. Bahkan ekspedisi yang gagal itu cukup bikin gue kesel -- "WHAT'S THE POINT??" -- untungnya, karakter-karakternya sangat bertumbuh di situ.


Last Argument of Kings... beda. Di buku ini, konfliknya meruncing dan mencapai klimaks yang bikin mata nempel terus di tiap halamannya. Perang demi perang. Gempuran demi gempuran. Dari berbagai sudut pandang. Gue ikut deg-degan dan keringet dingin pas sampai di bagian yang menegangkan -- ada dua, tepatnya, yaitu duel dan gempuran Gurkish di Adua. Bukan spoiler, karena itu ada di sinopsis.


Sampai di bagian itu, gue sempat berpikir akan kasih rating maksimal buat buku ini. Bahkan, temen gue sampai nanya apakah pendapat gue mengenai seri ini berubah. Yang gue jawab dengan yakin, "YUP!"


Lalu, kita tiba di bagian ending. Dan gue depresi.


Buku ini nggak salah predikat, memang. Dark, gritty fantasy. Bukan sekadar karakter dan dunianya, bahkan konklusi yang diambil Joe pun sangat dark dan gritty. Oke, mungkin menggambarkannya yang cocok seperti ini.


Di akhir sebuah seri fantasy favorit gue, semua karakter utamanya meninggal. Tapi, menurut gue, ending dari seri itu termasuk kategori bahagia -- there's a hope for a brighter beginning. Di akhir The First Law, mayoritas karakter utamanya hidup. Tapi, mereka either jadi miserable atau menyerah ke sisi tergelapnya. Character building yang bikin gue hepi di buku kedua hancur lebur. Sia-sia. Dan itu bikin gue bete.


Ada satu karakter favorit gue yang di akhir cerita nasibnya sangat menyedihkan, gue berharap Joe just write him off. Karena kematian rasanya lebih baik daripada kondisinya saat itu. Oh, Joe, how you break my heart. :'(


In the end, Last Argument of Kings adalah konklusi yang beda dan berani dari buku-buku fantasy lainnya. But it just doesn't suit me. Buku ini terlalu gelap, sampai akhirnya menurut gue nggak realistis. Manusia masih memiliki dorongan untuk melakukan hal yang baik. To be a better man, to do the good thing. Ini yang nggak ada di The First Law. Ini mengapa gue bilang seri ini nggak realistis.


Dan jangan lupakan character building yang buntut-buntutnya nggak guna.


Overall, Last Argument of Kings...



Click here to read the review in English.



2 views0 comments

Comments


bottom of page