top of page
Writer's pictureDelvirah Sabatini

Looking for Alaska


Judul: Looking for Alaska Penulis: John Green Penerbit: Dutton Juvenile Publikasi: 1 Januari 2005 Tebal: 221 halaman


At some point, you just pull off the Band-Aid, and it hurts, but then it's over and you're relieved.

Looking for Alaska adalah novel debut John Green yang memenangkan penghargaan Michael L. Printz Award dari American Library Association. Dari hasil gugeling, gue mendapati fakta bahwa buku ini termasuk cukup kontroversial pada masanya, mulai dari tema yang diusung sampai cover-nya segala.


Adalah Miles Halter, seorang remaja cowok yang memutuskan untuk pindah sekolah ke luar kota, tepatnya di Culver Creek. Culver Creek adalah sebuah sekolah asrama di Alabama, yang juga merupakan bekas sekolah ayahnya. Alasan Miles untuk pindah cukup simpel dan menantang. Dia punya hobi menghafalkan kata-kata terakhir orang-orang terkenal (famous last words) dan, terinspirasi oleh kata-kata terakhir Francois Rabelais ("I go to seek a Great Perhaps!"), memutuskan untuk keluar dari kota tempatnya tinggal, Florida, untuk mencari Great Perhaps ini.


Sesampainya di Culver Creek, Miles menemukan dirinya sekamar dengan Chip Martin (The Colonel), siswa penerima beasiswa di Creek yang tingginya konon nggak mencapai 5 feet tapi nggak menghalangi ke-badass-annya, yang segera memberinya nick name Pudge. Colonel lalu memperkenalkan Miles dengan teman-temannya, Takumi yang berasal dari Jepang dan Alaska Young yang jadi the object of affection-nya Miles. Miles segera mendapati dirinya tertarik kepada Alaska -- Alaska yang cantik, pintar, namun juga self-destructing dan emotionally unstable. Alaska-lah Great Perhaps yang dicarinya, namun yang juga membuatnya hancur berkeping-keping.


EGGLYSIS

Gue yakin para penggemar John Green habis ini bakal langsung sibuk nyari batu buat ngerajam gue. I'm sorry, dudes, but I must not tell lies. Looking for Alaska memang memiliki format yang menarik (alih-alih bab, kita dikasih countdown ke klimaks cerita dan aftermath-nya), setting yang oke banget (boarding school!), karakter-karakter yang keren (mereka pinter dan hobi breaking the rules.. what more could you ask?), dan ide cerita yang original. Tapi, honestly, gue nggak suka sama Looking for Alaska.


Allow me to explain. Titik lemah dari buku ini adalah karakter yang namanya jadi judul: Alaska. Singkatnya, Alaska is bloody irritating. Ia dikatakan memiliki masa lalu yang traumatic dan itulah alasan kenapa perilakunya jadi serba destructive. I get it. Secara umum, cewek-cewek emang suka susah ditebak emosinya dan, apalagi kalo lagi PMS, suka naik turun. It's true. Tapi ketika elo punya temen yang hari ini baik, asyik, dan rame banget, tapi di hari esok tiba-tiba jadi serba gloomy, judes, dan annoying tanpa alasan yang jelas.. that's not acceptable, dude. That's a toxic relationship -- yes, hubungan pertemanan pun bisa jadi toxic.


Yang bikin gue cringe adalah semua temen-temennya nganggep itu hal yang oke. Oh, Alaska lagi moody. Nggak apa-apa, kok, nanti juga baik lagi. Sesekali mungkin masih bisa dipahami -- tapi setiap saat? Kalo gue punya temen kayak begini, gue tabokin sih. Apa karena she's hot and smart makanya kelakuan begitu jadi oke?


Redeeming quality-nya adalah persahabatan yang dinamis di antara tokoh-tokohnya (I ship Colonel/Pudge -- scene terakhir sama The Eagle bener-bener win banget!) dan pesan yang disampaikan Green.


Overall, Looking for Alaska...



Click here to read the review in English.


1 view0 comments

Σχόλια


bottom of page