Judul: Paper Towns Penulis: John Green Penerbit: Dutton Books Publikasi: 16 Oktober 2008 Tebal: 305 halaman
The town was paper, but the memories were not.
Setelah digeber sama Brandon Sanderson, kini saatnya kita sedikit merelaksasikan diri. Oleh karena itu, buku yang akan gue review kali ini pun datang dari genre yang nggak terlalu bikin kening berkerut, yaitu young adult dan contemporary. Paper Towns karya John Green!
Tokoh utama di Paper Towns adalah Quentin, atau biasa dipanggil dengan nickname supercute-nya: Q. Ceritanya juga dijabarkan dari sudut pandang si Q ini. Nah, di awal cerita, Q membahas soal mujizat. Dan menurutnya, mujizat dalam hidupnya adalah bahwa ia bertetangga dengan Margo Roth Spiegelman.
Waktu kecil, Q dan Margo cukup akrab. Bisa dikatakan, mereka teman sepermainan begitu. Satu peristiwa yang paling nyantol banget di pikiran Q adalah waktu mereka sepedaan sore-sore sampai di taman dan menemukan mayat seorang laki-laki di dekat pohon. Darah mengalir dari mulut mayat ini. Q dan Margo, yang kala itu masih berusia 9 tahun, memiliki respons yang berbeda terhadap peristiwa ini. Sementara Q melangkah mundur, Margo justru melangkah maju.
Pada akhirnya, mereka pun kembali ke rumah dan memberitahu orang tua mereka mengenai penemuan ini. Setelah diselidiki oleh polisi, ada kemungkinan si laki-laki ini bunuh diri akibat depresi usai bercerai dengan istrinya. Dan malam itu, Margo menyelinap masuk ke kamar Q dan membisikkan kesimpulan dari penyelidikannya sepanjang hari itu.
"Maybe all the strings inside him broke," she said.
Fast forward beberapa tahun kemudian, Q dan Margo kini siswa senior SMA dan sedang menghadapi minggu-minggu terakhir sekolah. Hubungan mereka tak lagi seerat dulu. Q menahbiskan diri sebagai salah satu nerd di sekolah dan bersahabat karib dengan Ben, yang suka agak dongo sedikit, dan Radar, si computer geek yang kelewat jenius. Margo, di lain pihak, menjadi cewek paling populer di sekolah mereka. Bisa dikatakan dia jadi The Queen di SMA itu.
Oleh karena itu, Q terkejut setengah mati ketika Margo menyelinap memasuki kamarnya tengah malam buta, berpakaian a la ninja dan wajah dipenuhi cat hitam. Ia merekruit Q untuk menemaninya dalam misi balas dendam. Ternyata, pacar Margo, Jason, selingkuh dengan cewek lain selama beberapa bulan belakangan ini. Dan bukan hanya Jason yang jadi sasaran. Ada beberapa orang lain yang malam itu ditakdirkan menjadi target angkara murka Margo Roth Spiegelman, termasuk di antaranya adalah Becca, cewek selingkuhannya Jason, dan Lacey, sahabat karib Margo yang, menurutnya, sangat judgmental.
Malam itu menjadi malam yang tak terlupakan bagi Q. Cowok yang biasanya hidup teratur, rapi, dan cermat ini tiba-tiba terlibat dalam berbagai tindakan yang nyerempet melanggar hukum. Mulai dari menyelinap masuk ke rumah orang tanpa izin, melakukan tindakan vandalisme, ngebut di atas speed limit, sampai memasuki Sea World tanpa izin. Seumur hidup, dia nggak pernah merasa segugup, tapi juga sehidup ini. Dan semua itu karena Margo Roth Spiegelman. Sekali lagi, Q merasakan dirinya perlahan jatuh cinta pada sosok gadis yang telah lama dipujanya ini.
Keesokan harinya, Margo hilang.
Mungkin benar kata Q. Gadis itu terlalu menyukai misteri, hingga akhirnya iapun menjadi misteri.
EGGLYSIS
Gue sedikit pesimis waktu mulai baca buku ini. Preminya, dalam berbagai hal, mengingatkan gue pada Looking for Alaska. Seorang cewek cantik yang spunky dan misterius; seorang cowok nerd yang brilian dan memuja si cewek. Ring a bell?
Kecurigaan gue terbukti saat baru juga memasuki halaman ke-10. Akan tetapi, ada sesuatu dari buku ini yang bikin gue betah menjabani halaman demi halamannya. Ngelihatin tingkah Margo yang, sumpah, mirip banget sama Alaska. And God knows seberapa gedegnya gue sama Alaska. Tapi gue betah dan nggak ngedumel. Well, mungkin nggak sebanyak waktu baca LfA, but I digress... intinya, buku ini bisa menghisap gue ke dalam plotnya jauh lebih baik daripada LfA.
Q dalam banyak hal mengingatkan gue pada Pudge. Akan tetapi, beda dengan Pudge yang ibaratkan sakaw Alaska, Q jauh lebih realistis. Dia bisa melihat bahwa gadis pujaannya tidaklah sesempurna imajinasinya. Dia nggak segan meneriakkan akal sehat ke otak egois dan narsistik Margo. Dan itu jadi nilai plus banget buat karakternya. No pluses for Margo, though, she annoys the crap out of me.
Yang gue suka banget adalah cara John menggambarkan persahabatan Q, Ben, dan Radar. Banter mereka, kekompakan mereka, kedodolan mereka... kalo ada orang yang ngakak sampai nangis, itu gue tuh. John's humour is just priceless.
Ending-nya sempat terasa antiklimaks. Tapi, setelah melalui perenungan lebih dalam, gue pikir itu adalah jenis ending yang oke. Macam Gone Girl gitu. Terbuka untuk semua interpretasi. Menyisakan ruang untuk masa depan yang nggak bisa ditebak.
Overall, Paper Towns...
Click here to read the review in English.
Comentarios