top of page
Writer's pictureDelvirah Sabatini

The Lion, the Witch, and the Wardrobe (The Chronicles of Narnia, #1)

Updated: Jun 29, 2020


Judul: The Lion, the Witch, and the Wardrobe (The Chronicles of Narnia, #1) Penulis: C. S. Lewis Penerbit: HarperCollins Publishers Publikasi: 2005 Tebal: 172 halaman


Daughter of Eve from the far land of Spare Oom where eternal summer reigns around the bright city of War Drobe, how would it be if you came and had tea with me?

-- Chapter 2: What Lucy Found There


Iyaa, gue baru aja kelar baca buku ini, walaupun termasuk fans berat filmnya dan sampai sekarang nggak habis pikir kenapa gue nggak pernah mengenali Mr Tumnus sebagai si ganteng James McAvoy.

Oke, coba gue jelaskan. Ini Mr Tumnus:




dan ini James McAvoy:


You..... are welcome. *swoons*


Anyway, kembali ke review kita. The Lion, the Witch, and the Wardrobe adalah buku pertama dari seri The Chronicles of Narnia karya C. S. Lewis. Lewis adalah salah satu penulis yang gue kagumi, walau buku pertamanya yang bener-bener gue baca adalah, well, buku ini. Selama ini gue hanya baca kutipan-kutipan karyanya, terutama Mere Christianity yang sampai saat ini menjadi obsesi gue, dan ada sesuatu dari tulisannya, sesederhana apapun itu, terutama ketika berbicara tentang kekristenan, yang amat sangat powerful dan sanggup menyentuh hati.


The Lion, the Witch, and the Wardrobe berkisah tentang empat orang kakak-beradik, yaitu Peter, Susan, Edmund, dan Lucy, yang diungsikan oleh kedua orangtuanya ke rumah seorang profesor bernama Kirk yang tinggal di pedesaan. Perang Dunia II sedang pecah dan banyak orangtua di Inggris yang melakukan hal yang sama. Rumah besar milik Profesor Kirk itu membuat keempat anak kagum dan segera saja mereka mengeksplorasi berbagai penjuru rumah, sampai mereka tiba di sebuah gudang yang hanya berisi sebuah lemari kayu besar. Setelah puas menginspeksi lemari itu (yang berbau kamper dan dipenuhi oleh jubah-jubah tua), keempatnya pun pergi ke sudut lain rumah -- kecuali Lucy. Sesuatu dari lemari itu menarik perhatiannya sehingga ia memutuskan untuk memasukinya dan bermain di dalamnya. Dengan rasa ingin tahu seorang anak kecil, ia menyusuri lemari itu sambil berjaga-jaga akan bagian belakangnya. Namun, alih-alih bagian belakang lemari, Lucy justru mendapatkan dirinya di suatu tempat bersalju dan banyak pohon. Seakan-akan ada dunia lain yang tersambung di bagian belakang lemari itu! Di sana, Lucy bertemu dengan Mr Tumnus, seekor Faun (makhluk berwajah dan bertubuh manusia, namun memiliki tanduk, kaki, dan ekor kambing). Mr Tumnus mengajaknya bertamu ke rumahnya untuk minum teh dan makan kue. Dan dimulailah petualangan empat bersaudara ini menyelamatkan Narnia dari kuasa jahat si White Witch dan menyambut Aslan, pencipta Narnia.


EGGLYSIS

The Lion, the Witch, and the Wardrobe memiliki tema kekristenan yang sangat kental, khususnya Injil. Aslan digambarkan sebagai sosok Yesus dalam dunia fantasi, mengutip Lewis sendiri. Dan kalau kita melihat arc Aslan di dalam kisah ini, terutama di bagian akhir, itu sangat merujuk pada pengorbanan Kristus di kayu salib dalam Injil. Tapi justru yang paling menarik perhatian gue ada di bagian awal cerita, ketika Peter dan Susan yang mengkhawatirkan Lucy datang menghadap Profesor Kirk dan menjelaskan tentang keanehan adik mereka itu. Mereka berdua khawatir adik mereka mengalami gangguan jiwa karena berada jauh dari rumah dan segala gemuruh perang.

"Logic!" said the Professor half to himself. "Why don't they teach logic at these schools? There are only three possibilities. Either your sister is telling lies, or she is mad, or she is telling the truth. You know she doesn't tell lies and it is obvious that she is not mad. For the moment then and unless any further evidence turns up, we must assume that she is telling the truth."

Terjemahan kasarnya:

"Logika!" kata si Profesor setengah kepada dirinya sendiri. "Mengapa mereka tidak mengajarkan logika di sekolah-sekolah ini? Hanya ada tiga kemungkinan. Entah adikmu berbohong, atau gila, atau ia mengatakan yang sesungguhnya. Kalian tahu dia tidak pernah berbohong dan jelas bahwa dia tidak gila. Untuk saat ini dan sampai ada bukti lain, kita bisa berasumsi bahwa dia mengatakan yang sesungguhnya."

Kutipan ini tentu nggak akan berarti apa-apa kalau gue nggak pernah membaca kutipan dari Mere Christianity berikut ini, yang juga merupakan kutipan favorit gue:

[Jesus] would either be a lunatic -- on the level with the man who says he is a poached egg -- or else he would be the Devil of Hell. You must make your choice. Either this man was, and is, the Son of God, or else a madman or something worse. You can shut him up for a fool, you can spit at him and kill him as a demon or you can fall at his feet and call him Lord and God, but let us not come with any patronizing nonsense about his being a great human teacher. He has not left that open to us. He did not intend to.

dan ini terjemahan kasarnya:

Bisa jadi [Yesus] orang gila -- pada level yang sama dengan orang yang mengatakan bahwa ia adalah telur rebus -- atau ia adalah Setan itu sendiri. Kau harus menentukan pilihanmu. Entah orang ini adalah Anak Allah, atau orang gila atau sesuatu yang lebih buruk. Kau bisa mencap-Nya sebagai orang bodoh, kau bisa meludahi-Nya dan membunuh-Nya sebagai Iblis, atau kau bisa jatuh tersungkur di kaki-Nya dan memanggil-Nya Tuhan dan Allah, tapi jangan pernah datang dengan omong kosong tentang Ia sebagai guru manusia yang hebat. Dia tidak meninggalkan kita dengan kesan yang begitu terbuka. Itu bukanlah niat-Nya.

Gue rasa kalau itu bukanlah ketidaksengajaan dari pihak Lewis. Biar bagaimanapun juga, The Chronicles of Narnia memiliki tema kekristenan, bukan? Dan di saat gue merenungi kutipan ini, gue tersadar akan sesuatu. Lucy adalah yang paling muda di antara mereka berempat. Ia memiliki semua kepolosan, kepercayaan, dan iman seorang anak kecil -- secara Injil, iman kekristenan.


Tetapi rasanya tema buku ini nggak eksklusif untuk kekristenan saja. Pengharapan dan penebusan karakter adalah tema yang universal -- mungkin inilah mengapa The Chronicles of Narnia menjadi kisah fantasy yang legendaris hingga lebih dari setengah abad kemudian.


Overall, The Lion, the Witch, and the Wardrobe...




7 views0 comments

Commentaires


bottom of page