Judul: The Name of the Wind (The Kingkiller Chronicle, #1) Penulis: Patrick Rothfuss Penerbit: Penguin Group DAW Publikasi: 27 Maret 2007 Tebal: 662 halaman
Words are pale shadows of forgotten names. As names have power, words have power. Words can light fires in the minds of men. Words can wring tears from the hardest hearts.
Berhubung gue lagi dalam agenda menyelesaikan Fantasy Book Reading List yang disiapkan temen gue, review dalam waktu dekat ini kebanyakan berasal dari genre fantasy, walau sebisa mungkin gue usahakan untuk nyelipin buku dari genre berbeda. Kk? Okay, without further ado, kita masuk ke trilogi fantasi yang lagi booming beberapa tahun belakangan ini: The Kingkiller Chronicle!
Yang langsung menarik perhatian gue ketika membuka halaman pertama buku ini adalah, alih-alih keterangan 'THE KINGKILLER CHRONICLE, BOOK 1', yang ada justru 'THE KINGKILLER CHRONICLE, DAY 1'. Huh, interesting. Jawabannya pun langsung tersedia di beberapa lembar berikutnya.
The Name of the Wind memiliki format menarik, dengan alur maju-mundur dan narasi yang terbagi dua -- sudut pandang orang ketiga (masa kini) dan sudut pandang orang pertama (masa lalu). Kisah kita dimulai di sebuah penginapan yang dimiliki seorang lelaki yang sesungguhnya masih muda, namun seakan beban dunia membuatnya tampak lebih tua. Namanya Kote, dan ia ditemani asistennya yang bernama Bast. Pada suatu malam, Kote menyelamatkan seorang pengelana dari serangan Scrael, iblis dalam bentuk laba-laba raksasa. Pengelana ini adalah si Chronicler, dan ia mengenali Kote sebagai Kvothe, sosok legendaris dan kontroversial, yang telah lama diberitakan meninggal. Bast pun bukan manusia biasa; ia adalah pangeran Fae, kaum mistik yang ditakuti rakyat jelata. Berbagai desas-desus mengelilingi Kvothe, membuatnya jadi legenda tersendiri. Ia penyihir, ahli pedang, musisi, ia yang pernah berada dalam cengkeraman Felurian (salah satu makhluk Fae terkenal lainnya) dan berhasil kembali dengan selamat, ia yang membunuh raja, ia yang dikeluarkan dari Universitas pada usia yang lebih muda dari orang-orang yang baru memasukinya, dan ia yang menjadi penyebab perang yang terjadi saat ini. Melihat potensi untuk menulis sejarah dari sudut yang tak pernah ada sebelumnya, Chronicler meminta kesediaan Kvothe untuk menuturkan kisahnya kepadanya. Kvothe setuju, dengan satu ketentuan: kisahnya akan selesai diceritakan dalam tiga hari. ;)
Dari sini, kita masuk ke narasi yang mundur ke masa kecil Kvothe, dari sudut pandangnya sendiri. Kvothe berasal dari kaum Edema Ruh, kaum pengelana yang nomaden dan berkeliling mementaskan berbagai pertunjukan. Ia hidup dalam keluarga bahagia dan komunitas pengelana yang sangat erat hubungannya. Suatu hari, mereka bertemu dengan seorang arcanist (seseorang yang berhasil dinobatkan dalam komunitas Arcanum di Universitas dan biasanya memiliki tanda yang menunjukkan pencapaian mereka) bernama Abenthy yang kemudian bergabung dengan mereka. Abenthy segera akrab dengan Kvothe yang memiliki rasa ingin tahu begitu besar. Ia mengajari Kvothe berbagai ilmu, mulai dari fisika, kimia, thermodinamika, biologi, dan simpati (atau sympathy, ilmu yang penggambarannya menggabungkan thermodinamika, fisika, dan voodoo). Pada salah satu sesi mereka, Abenthy mendemonstrasikan kemampuannya memanggil angin, yang kemudian menjadi ambisi Kvothe untuk ia memasuki Universitas.
Suatu musibah lalu menimpa rombongan Kvothe, yang berkaitan dengan kaum Chandrian (kaum mistik yang lebih ditakuti daripada Fae dan hanya dianggap dongeng belaka), meninggalkan Kvothe sebatang kara dan trauma. Ia lalu melarikan diri ke kota Tarbean dan hidup menjadi anak jalanan selama tiga tahun. Suatu pertemuan dengan seseorang yang mengetahui tentang kaum Chandrian membangkitkan rasa intelektualnya dan iapun bersiap untuk berangkat ke Universitas. Di sana, walaupun tidak mempunyai uang, Kvothe berhasil mengesankan para profesor saat ujian masuknya, sehingga ia pun diterima. Kisah kita pun masuk dalam kehidupan Kvothe selama berada di Universitas; bagaimana ia bisa memperoleh julukan Kvothe the Bloodless, reputasinya sebagai musisi tersohor dan mahasiswa paling intelek yang pernah dimiliki Universitas, pengalaman pertamanya memanggil angin, dan cinta pertamanya yang bernama Denna.
EGGLYSIS
Patrick Rothfuss has a way with words. Dari kalimat pertamanya, dia udah berhasil menarik gue masuk dalam dunianya dan, terutama, Kvothe. Kvothe bener-bener sosok utama yang standout banget dari novel ini dan merupakan karakter favorit gue. He's not your typical hero. Pinternya kelewatan, jago berargumen, jago membawa diri, namun di saat yang bersamaan juga arogan dan pintar memanipulasi. Yang gue suka banget dari buku ini adalah bagaimana Rothfuss menunjukkan betapa jauh melesetnya gosip yang beredar dari kejadian sebenarnya. Semua reputasi kontroversial Kvothe itu ternyata memiliki penjelasan yang masuk akal di baliknya, dan lucu banget ngelihat betapa banyak orang yang takut sama dia dan mengira dia ada main-main sama kekuatan hitam. Dan pasti kita penasaran bagaimana Kvothe yang begitu berapi-api saat muda ini berubah menjadi Kote, pemilik penginapan yang pendiam dan bukan siapa-siapa.
Dunia yang diciptakan Rothfuss juga keren. Mungkin belum sampai level Tolkien maupun GRRM, bahkan JKR, tapi menarik. Yang sukses bikin gue terpikat adalah ilmu simpati, di mana kita bisa mengikat dua objek yang memiliki bahan yang sama dan menggerakkan objek yang satu melalui objek yang lain. It's cool. Dan pemaparan Rothfuss akan ilmu-ilmu yang diajarkan di Universitas juga brilian.
Satu kelemahan dari novel ini adalah kecenderungan Rothfuss untuk bercerita mengenai dunianya tanpa memberi kita kesempatan untuk memahaminya. Simpelnya gini. Gue yakin kita semua pasti sudah akrab dengan kisah Harry Potter. Sekarang, bayangkan kita lagi baca buku pertamanya dan tahu-tahu ada karakter yang bilang, "Muggle!", lalu karakter yang lain langsung menimpali tanpa ada satu pun penjelasan mengenai apa itu Muggle. Itu yang gue rasain di sini, khususnya terkait kaum Fae. Gue baru bisa ngebayangin kaum Fae itu signifikansinya apa di dunia itu begitu masuk ke buku kedua (yang nggak akan gue spoil di sini, no worries :)). World building-nya Rothfuss masih kurang oke.
Overall, The Name of the Wind...
Click here to read the review in English.
Comments