top of page
Writer's pictureDelvirah Sabatini

The Silver Chair (The Chronicles of Narnia, #4)


Judul: The Silver Chair (The Chronicles of Narnia, #4)

Penulis: C. S. Lewis

Penerbit: Geoffrey Bles

Publikasi: 7 September 1953

Tebal: 268 halaman


Crying is all right in its way while it lasts. But you have to stop sooner or later, and then you still have to decide what to do.

Masih ingat Eustace Scrubb? Yep, sepupu kakak-beradik Pevensie yang deserved the name, hehe. Worry not, though, kalau di buku ketiga dia jadi total prick (paling nggak di bagian awal), di buku ini dia karakter yang sudah sangat berubah berkat pertemuannya dengan Aslan dan perjalanannya naik Dawn Treader. Di buku ini, kita nggak akan ketemu satupun kakak-beradik Pevensie, karena bintang utama kita adalah Eustace dan seorang teman sekelasnya yang bernama Jill Pole.


Kisah berawal di suatu siang saat mereka lagi istirahat di sekolah mereka. Jill sedang bersembunyi dari geng tukang bully di sekolahnya dan bertemu dengan Eustace. Di saat itulah keduanya dipanggil oleh Aslan kembali ke Narnia. Apa alasannya? Well, masih inget dong kalo waktu di Narnia itu nggak sesuai sama waktu dunia nyata. Ketika Eustace dan Jill tiba di Narnia siang itu, beberapa dekade sudah lewat; Caspian kini sudah tua renta dan tinggal menunggu ajal. Misi yang diberikan Aslan kepada Eustace dan Jill adalah untuk mencari Prince Rilian, putra Caspian, yang hilang hampir sepuluh tahun yang lalu tanpa jejak. Dalam petualangan mereka kali ini, mereka ditemani oleh seorang marsh-wiggle (gue nggak tahu padanan kata Indonesianya!) yang bernama Puddleglum. Walaupun selalu pesimis, tapi Puddleglum segera menjadi sosok yang paling bisa mereka andalkan.


EGGLYSIS

Yang paling gue suka di The Silver Chair, jika dibandingkan dengan ketiga buku Narnia lainnya, adalah character development yang oke banget dari. Kalau biasanya karakternya cenderung flat dan 2D, dengan Lewis sepenuhnya mengandalkan imajinasinya untuk menciptakan dunia fantasi yang begitu mengagumkan sehingga sanggup bikin kita nggak mempermasalahkan karakterisasi, di buku ini gue cukup terkejut mendapati karakter yang, walaupun masih termasuk sederhana, at least nggak 2D. Izinkan gue memperkenalkan Jill Pole dan Puddleglum.


Jill Pole, protagonis cewek di cerita ini, jauh berbeda dari Lucy (gue ambil Lucy sebagai contoh karena beda umur sama Susan cukup jauh). Dimana Lucy lemah lembut, manis, dan penurut, Jill keras kepala, tidak mau kalah, dan cukup manipulatif. Dia sering berulah yang bikin bukan hanya Eustace sakit kepala, melainkan juga Puddleglum. Namun, dia sangat menyayangi kedua teman berpetualangnya dan, pada akhirnya, ia dapat mengalahkan sifat buruknya karena rasa sayangnya kepada Aslan.


Puddleglum, si marsh-wiggle yang gloomy dan serba pesimis, juga termasuk karakter unik yang segera menjadi favorit gue dari seluruh Narnia. Dalam menghadapi masa depan (baca: petualangan mereka), Puddleglum selalu melihatnya dari segi negatif. Ia yakin bahwa perbekalan mereka nggak akan cukup bahkan untuk sampai di tempat tujuan, ia yakin bahwa kayu-kayu bakar di hutan terlalu basah sehingga mereka nggak bisa menyalakan api, ia yakin bahwa mereka nggak akan selamat kembali ke rumah mereka.. namun, di sisi lain, dia punya kepercayaan yang teguh dan nggak tergoyahkan kepada Aslan, juga insting kuat akan bahaya. Ooh, dan dark humour-nya yang ibaratkan Dolorous Edd versi kid-friendly langsung bikin gue jatuh hati. :')


Overall, The Silver Chair...



Click here to read the review in English.



1 view0 comments

Commentaires


bottom of page