top of page
Writer's pictureDelvirah Sabatini

The Wise Man's Fear (The Kingkiller Chronicle, #2)


Judul: The Wise Man's Fear (The Kingkiller Chronicle, #2) Penulis: Patrick Rothfuss Penerbit: DAW Books Publikasi: 1 Maret 2011 Tebal: 994 halaman


It's the questions we can't answer that teach us the most. They teach us how to think. If you give a man an answer, all he gains is a little fact. But give him a question and he'll look for his own answers.

The Kingkiller Chronicle adalah salah satu seri fantasi tersukses saat ini. Buku pertamanya, The Name of the Wind, sukses bingits dan gue kepincut. Buku keduanya, The Wise Man's Fear, juga sukses bingits -- sayangnya, gue nggak kepincut. Why? Akan gue bahas di review ini.


The Wise Man's Fear masih mengisahkan tentang Kvothe yang menceritakan kisah masa mudanya, tentang bagaimana ia bisa menjadi sosok yang begitu melegenda dan menjadi penyebab perang yang sedang terjadi saat itu. Bagian awal novel ini kurang lebih mirip dengan buku pertamanya -- Kvothe masihlah murid brilian yang miskin di Universitas, dia masih sering bermain musik di Imre, dan masih memendam cinta pada Denna. Oh, jangan lupa perselisihannya dengan Ambrose. Walaupun monoton, gue pribadi lebih suka plot Kvothe saat di Universitas. Yang membawa kita ke plot selanjutnya...


Karena perselisihannya dengan Ambrose, Kvothe dinasehati untuk mengambil cuti dari Universitas oleh salah satu gurunya (kalo nggak salah Elxa Dal). Setiap semester (atau trimester?) ada yang namanya tahap admission, di mana tiap siswa diuji oleh para guru yang kemudian akan menentukan besar biaya sekolah berdasarkan performa mereka itu. Perselisihannya yang terakhir dengan Ambrose itu akan meningkatkan biaya sekolah Kvothe berkali-kali lipat, padahal yang biasanya aja udah bikin dia ngos-ngosan. Jadilah setelah berdiskusi dengan sahabat-sahabatnya, ditambah adanya tawaran untuk bermain musik bagi seorang kaya di Vintas, sebuah daerah ibaratkan kerajaan tersendiri, Kvothe memutuskan untuk cuti dari Universitas. Dan di sini plot yang bikin gue menggerutu dimulai.


Di Vintas, Kvothe berada di bawah kekuasaan Maer Alveron, orang paling berkuasa di Vintas. Ia disewa untuk membantunya memenangkan hati seorang wanita bangsawan yang kepadanya ia jatuh hati. Namun, di tengah proses itu, Kvothe berhasil mengungkap pengkhianatan di dalamnya, yang membawanya ke tengah hutan untuk memburu para bandit, bertemu Felurian -- dewi seks yang selalu berhasil menarik para lelaki ke dalam sarangnya dan hanya melepaskan mereka dalam keadaan gila atau mati -- dan berkunjung ke Adem -- sebuah daerah sunyi dan terpencil yang dipenuhi para ksatria pedang.


EGGLYSIS

I've said it and I'm going to say it again: Patrick Rothfuss has a way with words. Bukan cuma puitis, melainkan juga tajam. Bahkan humornya pun pintar. Yang jadi concern gue pada buku ini bukanlah kalimatnya yang mengalir, melainkan plotnya. Yep, karena kalimat yang indah dan pintar nggak menjamin plot yang juga oke.


Sebelumnya, perlu gue tegaskan kalau Kvothe was a darling to me. Was. The Name of the Wind sukses bikin gue kagum setengah mati sama karakternya yang berkharisma dan kurang ajar, tapi sanggup bikin hati lo tersentuh. The Wise Man's Fear, however, bikin semua kesan itu luluh lenyap.


Izinkan gue untuk menjabarkann. Plot Kvothe saat bersama Maer, walaupun garing, tapi masih bisa gue tolerir. Plot saat ia berada di tengah hutan juga, again, garing dan monoton, tapi masih bisa ditolerir. Semuanya langsung musnah ketika dia bertemu Felurian, si dewi seks dari kaum Fae yang legendaris itu. Tolong diingat kalau Kvothe adalah sosok yang polos dan sama sekali nggak tahu menahu soal seks. (Gue mulai masuk ke area yang agak spoilery) Tapi saat pertemuan pertamanya dengan Felurian, Felurian memuji Kvothe akan sexual prowess-nya.



Tapi okelah. Let's say it's logical. Paling enggak plot Felurian ini cuma beberapa halaman, lah. Sekitar 10 halaman palingan.


Ya, kan?


*beberapa puluh halaman kemudian*



Oh, belum sampai di situ. Kemudian, untuk suatu alasan yang sangat masuk akal, Kvothe harus pergi ke daerahnya suku Adem. Gue beneran lupa nama daerahnya apa, jadi kita bilang aja plot yang ini namanya plot Adem. Pendapat gue tentang plot ini? Hmm, let's say awalnya gue pikir plot Felurian adalah bagian yang paling bikin gue enek di buku ini.


I was wrong.



Gue paham kalau The Kingkiller Chronicle bukanlah jenis cerita yang biasa karena ini lebih mengarah ke perjalanan hidup satu tokoh tertentu. I get it. Tapi buku ini unnecessarily long dan plot-plotnya terasa kayak tempelan, seakan-akan Rothfuss nggak punya waktu untuk mengolahnya jadi plot yang lebih ngalir dan mulus. Belum lagi karakter Kvothe yang makin terasa nggak masuk akal. Kalau di buku pertama dia sanggup bikin simpati dengan segala macam flaw-nya, di buku ini dia tiba-tiba jadi serba perfect. Polos dan kikuk sama segala sesuatu yang berhubungan dengan seks selama 16 tahun? No worries, he's secretly a sex god. Ketemu masalah di tengah jalan yang pilihannya hidup dan mati? No worries, Kvothe lolos. Semua event di buku ini seakan menunjukkan betapa perfect-nya Kvothe, and I just don't buy it.


Di akhir cerita, gue bertanya-tanya, jadi inti permasalahan trilogi ini apa, sih? Kvothe yang ingin mencaritahu soal kelompok Chandrian yang misterius yang membantai orang tua dan kelompok Ruhnya, kan? Kenapa plot yang seharusnya jadi inti itu terasa kayak tempelan doang?


Overall, The Wise Man's Fear...



Click here to read the review in English.



0 views0 comments

Comments


bottom of page