top of page
Writer's pictureDelvirah Sabatini

Twilight (Twilight, #1)

Updated: Jun 24, 2020


Judul: Twilight (Twilight, #1) Penulis: Stephenie Meyer Penerbit: Little, Brown and Company Publikasi: 5 Oktober 2005 Tebal: 544 halaman

"And so the lion fell in love with the lamb…"

-- Chapter 13


Kurang lebih beginilah ekspresi gue saat memutuskan akan me-review tiga buku dari Twilight saga:



Twilight adalah sebuah kisah romansa terlarang. Bella Swan, seorang cewek manusia biasa, baru saja pindah ke Forks untuk tinggal bersama ayahnya setelah perceraian kedua orangtuanya. Forks adalah sebuah kota kecil di Washington yang senantiasa terpapar hujan dan jarang terkena sinar matahari. Dia masuk di sebuah SMA lokal. Bella yang merupakan seorang cewek yang introvert, nggak pede, dan cenderung awkward justru malah populer di kalangan teman-teman barunya. Disini ia bertemu dan duduk sebangku di kelas Biologi dengan seorang cowok yang bernama Edward Cullen. Bella awalnya merasa sakit hati karena Edward tampaknya nggak suka sama dia (justru gue heran kenapa tebakan Bella ini nggak terbukti benar). Tapi lama kelamaan, gue pun nggak ngerti gimana prosesnya, mereka justru saling jatuh cinta. Edward berusaha menghindar dan memperingatkan Bella kalau dia berbahaya *snorts* tapi dia nggak bisa lari dari perasaannya itu. Mereka pun memulai kisah asmara mereka yang berbahaya *double snorts*.


EGGLYSIS

Oke, gue akan membuat pengakuan. Pertama kali baca Twilight, gue masih duduk di kelas 11 SMA, belum terlalu banyak membaca bacaan bermutu (karena gue belum suka beli buku terbitan luar kala itu), dan masih sangat mudah terkesan. Jadi jangan heran kalau pada awalnya gue nge-fans berat sama Twilight, tergila-gila sama Edward Cullen, dan sirik setengah mati sama Bella Swan. Namun fase itu perlahan-lahan luntur seiring berjalannya waktu, bertambahnya buku yang gue baca, dan bertambah dewasanya pemikiran gue. Jadi kalau disimpulkan, inilah gue pas pertama kali baca Twilight:



Memasuki reread (baca ulang) kedua, ekspresi gue mulai mengalami perubahan.



Ketika itu akal sehat gue sudah terbentuk dan gue menyadari the big mistake hole dari kisah Stephenie Meyer yang ditunjuk oleh orang-orang. Bella, karakter cewek yang gue sirikin habis-habisan, adalah seorang cewek konyol yang memilih keputusan bodoh dalam hidupnya (akan gue jelaskan lebih lanjut). Edward, karakter cowok yang gue puja-puja, adalah cowok aneh yang kelewat posesif dan hobi stalking. Kisah cinta mereka yang awalnya tampak begitu romantis dan menggetarkan, kini seakan muncul dalam terang yang baru buat gue. Alih-alih romantis, kisah cinta mereka sebenernya termasuk dalam kategori abusive relationship.


Selanjutnya, yang bikin gue nggak habis pikir sama Bella adalah ketika Edward ngaku kalau malam-malam dia gelantungan di luar jendela kamar Bella buat nontonin dia tidur (dan itu terjadi beberapa kali), alih-alih ketakutan (seperti layaknya cewek normal), dia malah merasa Edward sangat romantis. Oke, mungkin karena Edward itu vampir ganteng. Tapi sekarang bayangin kalau yang nontonin elo tidur setiap malam adalah orang ini:



Dari segi plot, kisahnya nggak jelas jruntungannya sebenernya. Kita ambil karakter tiga vampir di penghujung cerita yang ngincer Bella. Di film mungkin nggak begitu kentara karena scriptwriter-nya cukup pintar untuk menyelipkan unsur teror mereka dari awal. Tapi kalau kalian baca novelnya, seakan-akan Stephenie keasikan menceritakan tentang asmara Bella dan Edward selama tiga perempat buku lalu tiba-tiba kepikiran, "Oh iya, belum ada konfliknya! Apa ya yang seru?"


Yang bikin Twilight jadi hits gue rasa adalah kepiawaian Stephenie dalam merangkai kata-kata. Ia sanggup menggiring pembaca jadi mengkhayal -- saking tingginya, sampai lupa akal sehat.


Overall, Twilight...



Click here to read the review in English.



0 views0 comments

コメント


bottom of page